Jumat, 01 Agustus 2014

TENTANG BORSAK JUNGJUNGAN

Berdasarkan silsilah (tarombo) yang beredar secara turun temurun di tengah masyarakat Batak khususnya Batak Toba, diketahui Borsak Jungjungan adalah putra pertama dari Toga Sihombing. Dan diyakini, dia adalah orang pertama yang menggunakan identitas dengan nama SILABAN. Dari silsilah itu pula, diketahui Borsak Jungjungan memiliki tiga saudara yaitu Borsak Sirumonggur Lumbantoruan, Borsak Mangatasi Nababan dan Borsak Binbinan Hutasoit.

Hidup sebagai keluarga, Borsak Jungjungan dan ketiga saudaranya tinggal bersama orang tua dan kerabatnya di Dataran Tinggi Toba dan terkonsentrasi di daerah TIPANG. Untuk sekarang ini Tipang sendiri adalah sebuah desa dan menjadi wilayah pelayanan administrasi Kecamatan Bakti Raja - Kabupaten Humbang Hasundutan - Provinsi Sumatera Utara, terhitung sejak tahun 2003.

Borsak Jungjungan memiliki tiga orang putera, yang sulung bernama Datu Bira atau Silaban Sitio, yang kedua Datu Mangambe atau Silaban Siponjot serta yang ketiga Datu Guluan yang terlahir bungsu. Dan untuk selanjutnya, seluruh keturunan Borsak Jungjungan yang terlahir dari ketiga putranya hingga saat ini menggunakan Marga (klan) Silaban sebagai identitasnya.

Satu hal yang perlu diketahui adalah, bahwa anak keturunan Borsak Jungjungan Silaban, tidak dibenarkan saling kawin dengan anak keturunan Marga Hutabarat. Kalaupun ada diantara anak keturunan dari kedua marga itu saling kawin, mungkin saja hal itu terjadi karena ketidak tauan, akibat keterbatasan informasi sehingga sumpah yang telah diikrarkan pada saat dulu, tidak sampai kepada orang yang bersangkutan.


Sebagaimana Orang Batak pada umumnya, Marga Silaban juga hidup tersebar diberbagai tempat di muka bumi. Baik di Bona Pasogit (kampung halaman) maupun di perantauan, di nusantara maupun mancanegara. Mereka berbaur, menyatu dengan seluruh masyarakat, yang berasal dari berbagai bangsa.



Rabu, 23 Juli 2014

DATU BIRA

Beratus tahun yang lalu, di sebuah tempat di Pulau Samosir, tiga orang saudara tumbuh dan berkembang dalam asuhan pamannnya (tulang/saudara ibu-read). Mereka adalah Datu Bira, Datu Mangambe dan Datu Guluan, dimana ketiganya adalah kakak beradik keturunan Borsak Jungjungan Silaban, cucu dari Ompu Raja Dioma-Oma.

Ketiga saudara kakak beradik ini, diceritakan setiap hari pekerjaannya belajar dan terus belajar memperdalam ilmu, baik ilmu beladiri maupun ilmu kesaktian. Hal itu membuat mereka bertiga tumbuh menjadi sosok yang memiliki kemampuan diatas rata-rata, jika dibandingkan dengan masyarakat yang ada disekitar mereka.

Kemampuan ketiga saudara kakak beradik itu, rupanya membuat mereka semakin populer kesegala penjuru tempat di Pulau Samosir, bahkan sampai ke daratan di seberang Danau Toba, khususnya kesaktian Datu Bira yang diceritakan tidak ada bandingnya sebab tidak satupun orang yang mampu mengalahkannya pada setiap pertarungan yang telah terjadi.

MENIKAH DENGAN PUTRI PINTA OMAS


Bersamaan dengan bertumbuhnya Datu Bira, ditengah keluarga Raja Sinaga juga sedang bertumbuh seorang putri remaja. Wanita berparas rupawan itu adalah Putri Pinta Omas Boru Sinaga, putri yang membuat semua pria jatuh hati padanya. Dari sekian pria yang menaruh hati kepada Pinta Omas, Datu Bira termasuk salah satu diantaranya. Datu Bira berharap, Pinta Omas mau menerima pinangannya untuk ia jadikan sebagai pendamping hidupnya.

Rupanya sang putri mengetahui bahwa ia disukai banyak pria, sehingga membuka peluang baginya untuk berusaha lebih selektif, dalam hal memilih pasangan hidup. Sang putri Boru Sinaga Ratus tidak mau tergesa-gesa untuk menjatuhkan pilihannya kepada seorang pria, karena ia khawatir menjadi salah dalam menentukan pilihan, sebab hal itu menyangkut perjalanan hidupnya dimasa yang akan datang.

Dari sekian pria yang telah melintasi hatinya, memang sejak awal Putri Pinta Omas telah jatuh hati kepada Datu Bira. Hanya saja ia tidak mau mengambil keputusan dengan tergesa-gesa, melainkan menunggu hingga keputusan yang akan ia ambil benar-benar matang.

Betapa bahagia hati Datu Bira ketika ia ketahui Putri Pinta Omas menerima pinangannya. Tentu saja ia sangat bahagia, karena ia adalah pria yang sangat beruntung dari sekian banyak pria, yang juga menginginkan Putri Pinta Omas menjadi pendamping hidupnya. Tak lama setelah itu, Datu Bira Silaban resmi mempersunting Putri Pinta Omas menjadi istrinya.

PENGHIANATAN DATU GULUAN

Pernikahan Datu Bira dengan Putri Pinta Omas rupanya berbuntut panjang, dan tidak disangka jika kemudian melahirkan rasa benci yang berkepanjangan pada seorang pria yang kemudian diketahui berasal dari Klan (marga) Simbolon. Rasa cinta pria itu kepada Putri Pinta Omas rupanya menjadikannya sampai hilang akal, sehingga menciptakan niat di hatinya untuk mencelakai Datu Bira, agar Putri Pinta Omas jatuh kepelukannya.

Kegilaan Pria Simbolon itu terhadap Putri Pinta Omas tak pernah berhenti, hingga kehamilan Putri Pinta Omas segera akan memasuki usia persalinan. Berbagai upaya dilakukan, baik berupa perkelahian phisik maupun adu kesaktian dengan Datu Bira, bagaimana agar Putri Pinta Omas jatuh kepangkuannya, namun semua upaya Pria Simbolon itu selalu patah di tangan Datu Bira.

Menyadari segala upaya dapat dipatahkan, Pria Simbolon itu kemudian berusaha mencari dimana titik lemah kesaktian Datu Bira. Ia mendatangi berbagai sumber dan tempat, guna mendapatkan informasi tentang kesaktian Datu Bira. Namun sayang, semua usaha itupun berakhir dengan sia-sia.

Pria itu tak putus asa walau berbagai kegagalan menerpa segala usaha yang ia lakukan. Kali ini  ia berhasrat untuk mencoba menemukan titik lemah Datu Bira dengan menikahkan putri mereka dengan Datu Guluan adik Datu Bira. Pria itu berharap, dengan cara ini hasratnya bisa tercapai.

Untuk memenuhi keinginannya, Pria Simbolon itu kemudian menemui putri mereka dan menjelaskan niatnya, untuk membongkar rahasia kekuatan Datu Bira. Agar rahasia itu bisa terbongkar, putri mereka harus menjadi istri Datu Guluan adiknya. Dengan cara itu kemungkinan untuk mendapatkan informasi  tentang titik lemah kesaktian Datu Bira dapat diperoleh, yakni dengan mengorek informasi dari Datu Guluan.

Persetujuan dari putri merekapun diperoleh, kemudian rencana berikutnya adalah upaya menaklukkan hati Datu Guluan, agar mau menjadi suami putri mereka. Rupanya niat untuk menjadikan Datu Guluan menjadi suami putri mereka tidak menemui kesulitan yang berarti. Datu Guluan yang memang sudah menaruh hati terhadap Putri Simbolon menyambut baik tawaran itu, untuk menjadikan mereka berdua sepasang suami-istri.

Mendengar kabar Datu Guluan akan menikah dengan salah seorang putri marga Simbolon, kerabat Datu Guluan menentang niat itu. Berbagai upaya dilakukan untuk menghentikan rencana pernikahan itu. Kerabat Datu Guluan berusaha untuk mengingatkan, agar tidak meneruskan niat untuk melangsungkan pernikahan itu. Tetapi Datu Guluan bersikeras dan tetap akan menikah dengan Putri Simbolon itu.

Pernikahan Datu Guluan dengan Putri Simbolon akhirnya diwujudkan, sehingga rencana pria bermarga Simbolon untuk mendapatkan titik lemah kesaktian Datu Bira semakin dekat pada titik terang . Pria Simbolon itu yakin, Datu Guluan sebagai adik Datu Bira pasti tau kelemahan kakak kandungnya sendiri, apalagi mereka menuntut ilmu pada guru yang sama.

Tak lama setelah pernikahan Datu Guluan dan Putri Simbolon diresmikan, kemudian Simbolon dan kerabatnya  mulai mewujud nyatakan rencana mereka secara perlahan. Seperti rencana yang telah diatur sejak semula, Putri Simbolon berperan untuk mengorek informasi tentang titik lemah Datu Bira, terus berusaha secara intensif dengan bertanya langsung kepada suaminya Datu Guluan.

Akhirnya upaya keras Putri Simbolon berhasil, suaminya Datu Guluan kemudian menuturkan bahwa titik lemah kesaktian ilmu Datu Bira berada pada Ikan Dekke Naga Talam. Datu Bira harus makan ikan itu paling tidak sekali dalam sepekan, agar kesaktiannya tidak sirna. Jika itu tidak terlaksana, maka kesaktiannya akan hilang dengan sendiri.

Sebenarnya situasi itu menjadi dilema bagi Datu Guluan. Sulit baginya untuk menentukan sikap, siapa yang harus ia dukung. Ia tau persis semua rencana yang disusun kerabat istrinya, adalah untuk memusnahkan Datu Bira kakaknya. Tetapi ia lebih memilih menjawab kebutuhan kerabat istrinya, daripada menyelamatkan kakaknya sendiri dari kematian. Itulah sebabnya Datu Guluan membocorkan rahasia dibalik kesaktian kakaknya Datu Bira kepada istrinya.

Mendengar penuturan suaminya tentang titik lemah kesaktian Datu Bira, betapa sukacitanya Putri Simbolon. Ia telah mendapatkan apa yang mereka butuhkan setelah sekian lama. Tak menunggu lama, ia segera melaporkan hasil temuannya itu kepada sanak-saudaranya.

Tak kepalang tanggung senangnya Pria Simbolon mendengar informasi itu. Setelah sekian lama ia menanti dengan penuh harap, akhirnya kerja liciknya membuahkan hasil. Pria Simbolon itu kemudian mengetahui titik lemah kesaktian Datu Bira melalui suami putrinya, setelah putri mereka berhasil memperdaya suaminya Datu Guluan dan membuatnya mengkhianati kakak kandungnya sendiri.

HILANGNYA SEBUAH KESAKTIAN

Dekke Naga Talam (sejenis ikan tawar yang hanya ditemukan disekitar Danau Toba) adalah ikan yang menjadi kesukaan Datu Bira sejak ia menimba ilmu dari seorang guru sakti. Datu Bira harus mengkonsumsi ikan Dekke Naga Talam setiap pekan, agar ilmu sakti yang ia miliki tidak sirna dari raganya.

Mengetahui kesaktian Datu Bira akan hilang jika tidak mengkonsumsi ikan Dekke Naga Talam, lalu Pria Simbolon dan kerabatnya mengatur rencana untuk membeli seluruh ikan yang ada di pasar hingga habis, agar Datu Bira tidak mendapat sepotongpun ikan. Bukan hanya Dekke Naga Talam yang mereka borong habis, tetapi seluruh jenis ikan dipasar mereka beli hingga tak bersisa.

Setiap pasar dibuka, Simbolon dan kerabatnya beserta orang suruhannya, selalu datang lebih pagi untuk mendahului istri Datu Bira, guna membeli seluruh ikan yang dijual para pedagang ikan. Dan setiap tiba di pasar istri Datu Bira selalu kehabisan ikan yang akan ia beli, dan pulang dari pasar dengan tangan hampa.

Peristiwa serupa terus berlangsung, sehingga kebutuhan makan ikan Dekke Naga Talam untuk menjaga kelestarian kesaktiannya tidak terpenuhi. Datu Bira khawatir  jika situasi itu terus berlangsung, maka kesaktiannya akan hilang dari raganya. Dan kekhawatiran Datu Bira itu benar-benar terjadi, karena tidak mengkonsumsi ikan Dekke Naga Talam akhirnya kesaktian Datu Bira secara perlahan berangsur hilang.

Mengetahui kesaktiannya berangsur sirna, Datu Bira murka kepada istrinya. Dia beranggapan istrinya Pinta Omas Boru Sinaga tidak sungguh-sungguh menyanggupi keinginannya untuk membeli ikan Dekke Naga Talam. Datu Bira menilai istrinya tidak melaksanakan tugasnya dengan baik sebagai seorang istri , dan menuduhnya telah berdusta tentang ketiadaan ikan Dekke Naga Talam di pasar.

Rasa kecewa Datu Bira terhadap istrinya sudah melampaui batas, sehingga ia tak mampu mengendalikan dirinya, sampai-sampai ia mengancam untuk membinasakan  istrinya. Melihat kemarahan yang tampak dari ucapan dan perilaku suaminya, Pinta Omas mulai cemas bahwa kemurkaan suaminya bisa berimbas kepadanya dengan mendapat hukuman dari Datu Bira suaminya.

Lalu Pinta Omas bangkit dari duduk dan sujud memohon maaf dihadapan suaminya, berusaha untuk meyakinkan bahwa ia tidak berbohong terkait dengan ketidak adaan ikan Dekke Naga Talam di seluruh pasar. Bukan hanya ikan Dekke Naga Talam yang tidak ada, tetapi semua jenis ikan yang dijual di pasar telah habis dibeli seseorang. Mendengar itu, Datu Bira mulai mengerti bahwa pekerjaan itu adalah pekerjaan seseorang yang sungguh ia kenal.

Putri Pinta Omas Boru Sinaga bertambah cemas melihat situasi suaminya yang semakin tidak karu-karuan. Kemudian ia kembali sujud  dihadapan Datu Bira dan memohon untuk tidak dibinasakan. Pinta Omas memohon kepada Datu Bira, baiklah ia dipulangkan saja kepada orang tuanya, jika sudah tidak dipercaya lagi. Perkataan itu muncul, hanyalah karena rasa takut yang menderanya, melihat kondisi suaminya Datu Bira saat itu.

Sungguh Datu Bira sebenarnya tidak berniat untuk mencelakai istrinya, apalagi sampai membinasakannya. Tetapi ia justru harus menyelamatkan istri dan anaknya Sakkar Toba yang masih sangat kecil, dengan cara mengevakuasi keduanya ke tempat tinggal orang tua (kerabat) istrinya, karena ia sadar bahwa dirinya berada diambang kebinasaan.

Dalam perjalanan menuju tempat tinggal mertuanya, Datu Bira menjelaskan kepada istrinya bahwa kesaktian yang ada pada dirinya kini telah sirna, karena dalam beberapa pekan tidak mengkonsumsi ikan Dekke Naga Talam. Selanjutnya ia katakan, bahwa semua itu adalah perbuatan Pria Simbolon dalam upaya balas dendam, karena gagal mendapatkan cinta Putri Pinta Omas.

Mendengar penjelasan dari suaminya, Putri Pinta Omas kemudian mengerti, mengapa ia tidak pernah menemukan semua jenis ikan di pasar beberapa pekan.
Kemudian atas permintaan suaminya, Pinta Omas dan anaknya Sakkar Toba berjalan mendahului suaminya, dan tiba lebih dulu di rumah orang tuanya.

Di rumah orang tuanya, Pinta Omas kemudian menuturkan secara lengkap kepada orang tua dan kerabatnya, peristiwa yang sedang menimpa mereka. Betapa kagetnya orang tua dan kerabat Pinta Omas mendengar penuturannya, tentang peristiwa yang kini sedang mereka hadapi. Menanggapi itu, orang tua dan kerabatnya siap mendukung suaminya Datu Bira, walaupun harus mempertaruhkan nyawa.

Semua pembicaraan yang terjadi antara Pinta Omas dan kerabatnya, sangat jelas terdengar di telinga Datu Bira, karena ia bersembunyi tidak jauh dari rumah mertuanya. Ia sungguh bahagia, karena dukungan luar biasa diberikan kepadanya oleh kerabat istrinya. Mendengar itu ia sungguh terharu, lalu ia masuk kedalam rumah dan mengucapkan terimakasih kepada semua kerabat istrinya yang hadir pada saat itu.

KONSPIRASI JAHAT 

Pada waktu itu sebuah perayaan akbar sedang berlangsung di desa tempat dimana orang tua dan kerabat Pinta Omas tinggal. Perayaan itu direncanakan berlangsung selama tujuh hari tujuh malam, sehingga panitia mengundang banyak orang sampai hingga ke desa seberang danau. Setiap orang dilayani dengan baik, dengan menjamu mereka makan dan minum.

Tambah hari perayaan semakin ramai dikunjungi tamu undangan. Datu Bira yang berusaha menahan diri untuk tidak membaur pada keramaian itu, tambah hari bertambah kuat pula keinginannya untuk turut melebur dan membaur dikeramaian perayaan itu.

Pada hari ketiga Datu Bira sudah tidak kuat lagi menahan keinginannya, lalu keluar dari rumah dan membaur bersama orang lain di keramaian itu. Rupanya orang suruhan Simbolon melihat Datu Bira muncul, yang telah menunggu kemunculan Datu Bira sejak awal perayaan itu dimulai. Lalu segera menyampaikan kabar itu kepada Simbolon dan kerabatnya, yang juga dengan gelisah menunggu informasi dari tempat dimana perayaan sedang berlangsung.

Mendapat informasi Datu Bira hadir pada perayaan itu, Simbolon dan kerabatnya serta seluruh warga desa yang mendukung rencana itu segera berkumpul, dan setiap orang yang hadir diperintahkan untuk menggunakan pucuk daun kelapa di pergelangan tangan, sebab setiap orang yang tidak menggunakan pucuk daun kelapa pada pergelangan tangannya, akan ditebas hingga tewas.

Demikian Pria (marga) Simbolon memberikan arahan, dan memerintahkan untuk menebas hingga tewas siapapun yang hadir pada perayaan malam itu, kecuali jika ia menggunakan pucuk daun kelapa dipergelangan tangannya. Sandi itu ia lakukan, agar tujuan utama untuk menghabisi Datu Bira bisa tercapai, sekalipun harus mengorbankan orang-orang tak berdosa.

Sesuai perintah Pria Simbolon, kerabat serta orang-orang yang mendukungnya lalu bertolak ke perayaan itu, dan menebas leher setiap orang yang tidak mengenakan pucuk daun kelapa pada pergelangan tangannya hingga tewas. Pembunuhan massal tak terhindarkan dan berlangsung tanpa belas kasihan. Pemandangan memilukan kemudian tercipta sebagai dampak dari sebuah dendam kesumat, yang timbul dari sebuah cinta yang tak terwujud.

Rupanya Datu Bira sempat meloloskan diri, walau sebenarnya ia mengalami luka yang cukup parah. Ia membawa anak dan istri menembus gelapnya malam, berusaha untuk menghindar dari kejaran anak (marga) Simbolon dan sekutunya, yang berniat untuk membinasakannya. Datu Bira memutuskan untuk meninggalkan Hatoguan Samosir, dengan harapan bisa selamat sampai ke Kampung Halamannya di Tipang.


WASIAT UNTUK DATU MANGAMBE


Di tempat lain, Datu Mangambe adiknya yang telah kembali ke Tipang usai berguru di Hatoguan Samosir, merasakan sesuatu hal yang tidak biasa telah terjadi pada sanak saudaranya. Ia berasumsi, kakandanya Datu Bira sedang sedang dalam masalah. Asumsi itu membuatnya sangat gelisah, dan memaksanya mengambil keputusan untuk pergi menemui Datu Bira kakaknya di Hatoguan Samosir.


Kesehatan Datu Bira terus menurun. Disamping berjalan cukup jauh, darah yang keluar dari lubang-lubang bekas tusukan belati di tubuhnya sudah begitu banyak, membuat kondisi phisiknya semakin lemah. Dalam kondisi seperti itu, Datu Bira menyadari bahwa ia tidak akan bisa melanjutkan perjalanan. Oleh karena itu, ia meminta kepada istrinya untuk melanjutkan perjalanan bersama anak semata wayang mereka, menuju Tipang kampung halaman Datu Bira.


Mendengar Datu Bira untuk meninggalkan dirinya dan melanjutkan perjalanan, Putri Pinta Omas menjadi sangat sedih. Ia tidak tau tindakan apa yang harus ia lakukan. Ia tidak mampu menuruti permintaan suaminya untuk pergi dan meninggalkan suaminya dalam kondisi seperti itu. Tetap bersama suaminya, ia juga tidak mau putra semata wayangnya turut binasa bersama mereka ditangan Putra (marga) Simbolon dan sekutunya.


Saat Putri Pinta Omas berada dalam kebingungan, Datu Mangambepun tiba. Datu Mangambe datang pada saat yang sangat tepat. Mereka bertemu ditengah jalan, saat sebelum Putra (marga) Simbolon dan sekutunya tiba ditempat itu. Datu Mangambe menangis meraung-raung, melihat kondisi kakandanya sudah sekarat. Datu Mangambe sangat menyesali dirinya, karena sejak awal ia telah mengkhawatirkan itu. Tetapi mengapa ia harus turut pada kakandanya yang sangat percaya kepada kemampuan dirinya sendiri.


Menyadari situasi sangat genting, Datu Bira segera menjelaskan peristiwa yang telah menimpa mereka. Peristiwa itu terjadi, tidak terlepas dari perbuatan pengkhianatan yang telah dilakukan adik mereka Datu Guluan, hingga peristiwa pembunuhan massal itu menimpa dirinya dan penduduk Desa mertuanya.


Mendengar semua penjelasan dari kakaknya Datu Bira, Datu Mangambe menyadari situasi saat itu betul-betul tidak kondusif, khususnya untuk kakaknya sekeluarga. Keselamatan keluarga kakaknya jauh lebih penting baginya, dibanding dengan keinginan untuk membalas perbuatan Putra (marga) Simbolon dan kerabatnya terhadap kakak dan kerabat mertuanya.

Dihadapan Datu Mangambe adiknya, Datu Bira mengutuk Datu Guluan atas pengkhianatan yang telah ia lakukan, agar kelak dikemudian hari, Datu Guluan dan keturunannya tidak akan lebih dari 30 (tiga puluh) orang jumlah laki-laki. Jika lahir laki-laki pada keturunannya melebihi 30 (tiga puluh) orang, maka akan mati keturunan lainnya, agar jumlah pria padanya tetap pada jumlah 30 (tiga puluh) orang.

Datu Mangambe mendukung kutuk itu, karena ia menyadari bahwa perbuatan adik mereka Datu Guluan sudah melampaui batas. Ia tidak menyangka kalau Datu Guluan sampai hati melakukan itu. Dengan cucuran air mata, ia berdoa kepada Sang Khalik memohon agar mendengarkan doa kakaknya Datu Bira. Konon katanya kutukan itu sungguh terjadi, dan dapat dilihat dari keturunan Datu Guluan yang memang sangat sedikit populasinya.

Malam itu juga, Datu Mangambe meninggalkan tempat itu mengevakuasi Datu Bira beserta anak dan istri ke tempat yang lebih aman. Gelap gulita mereka tembus melalui jalan yang tidak biasa, hanya untuk menghindar dari kejaran Putra (marga) Simbolon dan sekutunya. Mereka berangkat tanpa alat penerangan, berjalan tergesa-gesa menelusuri jalan kecil, jalan yang tak biasa dilalui warga.

Ditengah perjalanan kondisi fisik Datu Bira semakin melemah. Datu Bira tau betul, ia sudah tidak mampu melanjutkan perjalanan. Ia kemudian pasrah kepada takdir dan berserah kepada Sang Ilahi, lalu memohon kepada adiknya Datu Mangambe untuk melanjutkan perjalanan dengan membawa anak dan istrinya ke tempat yang aman.

Sebelum melepas kepergian Datu Mangambe, Datu Bira berpesan kepada Datu Mangambe, agar menyelamatkan Pinta Omas Boru Sinaga dan anaknya Sakkar Toba ketempat yang tidak mungkin ditemukan Simbolon dan sekutunya. Datu Bira menyerahkan Sakkar Toba ke dalam asuhan Datu Mangambe, hingga kelak ia berketurunan, sehingga silsilah Datu Bira tidak berhenti oleh kekejaman yang sedang dipraktekkan  Putera (marga) Simbolon dan sekutunya.

Dihadapan Datu Bira yang tengah sekarat, Datu Mangambe berjanji untuk mengasuh Sakkar Toba sesuai dengan permintaan kakaknya, dan tidak akan menikah sebelum Sakkar Toba berketurunan. Itulah sumpah Datu Mangambe dihadapan kakaknya Datu Bira yang tengah menghadapi sakratul maut, walau sesungguhnya Datu Mangambe telah berencana untuk menikahi seorang puteri keturunan raja (marga) Nainggolan, yang telah ia bawa dari Hatoguan Samosir yang saat itu telah berada di Tipang.

Kemudian Datu Mangambe berniat untuk melanjutkan perjalanan, namun Putri Pinta Omas Boru Sinaga memutuskan untuk tidak turut pergi bersama Datu Mangambe. Putri Pinta Omas memilih untuk tinggal bersama suaminya, karena tidak ada kemampuan dalam dirinya untuk meninggalkan Datu Bira dalam kondisi seperti itu. Ia telah memutuskan jikapun harus mati ia rela mati bersama suaminya.

DATU BIRA WAFAT

Sementara itu ditempat dimana telah terjadi pembunuhan massal, Putera (marga) Simbolon dan sekutunya sedang sibuk mengidentifikasi mayat yang bergelimpangan. Mereka mencari jenazah seseorang, tetapi tidak ditemukan. Dari sekian mayat yang ada, mereka tidak menemukan jenazah orang yang mereka cari, yakni jenazah Datu Bira.

Setelah yakin jenazah Datu Bira tidak ada diantara jenazah yang berserakan, kemudian Putera (marga) Simbolon dan sekutunya segera melakukan pengejaran ke segala penjuru. Mereka sangat yakin Datu Bira tidak akan bisa pergi jauh,  sebab Datu Bira mengalami luka tusuk yang sangat parah. Jikapun masih hidup, dipastikan ia masih berada di sekitar wilayah itu.

Di tempat lain, pasca kepergian adiknya Datu Mangambe dengan membawa serta Sakkar Toba, Datu Bira dan istrinya sedang berusaha keras untuk bergerak meninggalkan tempat, agar terhindar dari kejaran Putera (marga) Simbolon dan sekutunya, namun usaha itu sia-sia. Dengan kondisi luka yang dideritanya, sulit sekali bagi Datu Bira untuk bisa bergerak menjauh dari tempat itu. Berulang kali Datu Bira menyarankan agar istrinya Pinta Omas pergi menghindar, tetapi dengan linangan air mata istrinya selalu menolak dengan kasih sayang.

Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Datu Bira akhirnya ditemukan oleh sekutu Simbolon. Dalam kondisi yang sangat memprihatinkan, Datu Bira disiksa tanpa ampun, kemudian lehernya digorok hingga putus, terpisah kepala dari badan. Melihat itu Putri Pinta Omas menjerit histeris, mengutuk keras perbuatan sekutu Simbolon terhadap suaminya.

Setelah berhasil menggorok leher hingga putus, kemudian kepala Datu Bira dibawa kehadapan Putera (marga) Simbolon, sebagai bukti bahwa Datu Bira betul-betul telah tewas. Turut juga bersama dengan kepala Datu Bira, Putri Pinta Omas istrinya yang dibawa secara paksa, dan sampai di hadapan Putera (marga) Simbolon, walau dengan cara diseret karena Pinta Omas tidak sudi bertemu dengan pria bermarga Simbolon musuh suaminya.

Putri Pinta Omas akhirnya tewas menyusul suaminya, setelah disiksa secara terus menerus, karena ia menolak untuk diperistri Pria bernarga Simbolon itu. Disamping sejak awal memang Pinta Omas tidak suka kepada pria itu, perlakuan keji yang dilakukan Simbolon dan sekutu terhadap suaminya Datu Bira, membuat Pinta Omas semakin membenci pria itu. Baginya lebih baik mati setelah suaminya tiada, apalagi jika harus diperistri pria bermarga Simbolon itu.

Kekejaman Simbolon dan sekutunya terhadap Datu Bira, hingga kini masih dikenang oleh keturunannya. Hal itu diabadikan pada sebuah monumen yang dibangun oleh keturunannya dalam bentuk patung Datu Bira tanpa kepala. Dan sejak saat itu, seluruh keturunan Datu Bira tidak dibenarkan untuk menikah dengan keturunan (marga) Simbolon, dan jika hal itu dipaksakan maka akan terjadi mala petaka pada keluarga itu.

Untuk menghindar dari kejaran Simbolon dan sekutunya, Datu Mangambe dan Sakkar Toba telah menempuh jalan yang sangat jauh, hingga mereka benar-benar terlepas dari kejaran Simbolon dan sekutunya. Dari Pulau Samosir Datu Mangambe membawa Sakkar Toba menyeberang ke Daratan Humbang, kemudian menetap daerah dataran tinggi  yang sekarang daerah itu dikenal dengan nama Desa Silaban, setelah pamit dan mengucap janji dengan putri (boru) Nainggolan.

Disana Sakkar Toba tumbuh dan berkembang dalam asuhan pamannya Datu Mangambe, hingga kemudian ia menikah dan punya keturunan. Dikabarkan, Datu Mangambe sungguh melaksanakan sumpahnya dengan setia. Setelah Sakkar Toba menikah dan berketurunan, barulah Datu Mangambe mengakhiri masa lajangnya.

Catatan  :

Sebelumnya kami mohon maaf untuk setiap orang, khususnya keturunan Borsak Jungjungan Silaban, terkait dengan tidak tercapainya nilai kesempurnaan cerita pada artikel di atas, dalam menempatkan sisi kebenaran ceritanya sesuai dengan harapan setiap orang. Hal ini kami sampaikan, mengingat ada beberapa versi tentang cerita serupa  yang beredar di tengah masyarakat, termasuk diantaranya dalam komunitas Klan (Marga) Silaban itu sendiri.


SALAM GEMILANG.

Kamis, 26 Juni 2014

DATU MANGAMBE

Datu Mangambe adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Ia bersama kakak dan adiknya adalah putera dari Ompu Raja Dioma-oma, kakaknya Datu Bira dan adiknya Datu Guluan. Datu Mangambe dan kedua saudaranya lahir dari rahim seorang ibu, yang diketahui berasal dari anak keturunan Marga (raja) Sinaga dari garis keturunan Ompu Ratus.

Jika mengikuti silsilah dari garis ayah, Datu Mangambe dan kedua saudaranya merupakan anak keturunan dari Borsak Jungjungan Silaban, yang diperanakkan Toga Sihombing. Borsak Jungjungan sendiri kemudian diketahui melahirkan Ompu Ratus Silaban dan Ompu Ratus melahirkan Ama Ratus Silaban selanjutnya Ama Ratus Silaban melahirkan Si Ratus Silaban (Ompu Raja Dioma-oma Silaban).

Seturut dengan waktu yang berkembang, rupanya informasi juga ikut berkembang, seperti yang terjadi pada dua nama terakhir yaitu Si Ratus Silaban dan Ompu Raja Dioma-oma Silaban oleh sebagian keturunan Marga Silaban dianggap sebagai orang yang sama. Yang artinya, Si Ratus Silaban adalah OR Dioma-oma dan sebaliknya OR Dioma-oma adalah orang yang sama dengan Si Ratus Silaban. Biarlah hal itu berkembang menuju kesepakatan yang lebih baik, agar kedepan ditemukan pemahaman yang satu tentang itu. Kali ini tulisan kita fokuskan kepada sejarah tentang Datu Mangambe.

Memasuki usia remaja, Datu Mangambe dan kedua saudaranya hijrah ke kampung halaman ibunya di Hatoguan Pulau Samosir, untuk berkonsentrasi pada ilmu yang sedang mereka dalami. Hal itu dilakukan atas sepengetahuan kedua orang tuanya, dengan tujuan untuk lebih melengkapi ilmu yang sudah ada dengan harapan ilmu itu menjadi lebih sempurna. Semua itu mereka lakukan, sebagai upaya untuk melengkapi diri dengan pertahanan, apabila kelak mereka berhadapan dengan setiap orang yang memiliki niat jahat terhadap mereka.

Disamping menimba ilmu, Datu mangambe dan kedua saudaranya juga mendalami adat istiadat, dengan hidup bergaul dan membaur dengan penduduk setempat, khususnya dengan paman dan sepupunya, yang masih memiliki hubungan kekerabatan yang sangat erat.

Ditengah pergaulannya dengan masyarakat setempat, rupanya Datu Mangambe dan kedua saudaranya, masing-masing jatuh hati kepada perempuan disana. Ia sendiri terpikat kepada seorang perempuan keturunan Marga (raja) Nainggolan, kakaknya kepincut oleh perempuan keturunan Marga (raja) Sinaga dan adiknya Datu Guluan jatuh hati kepada perempuan keturunan Raja (marga) Simbolon.

Tidak terlalu lama berselang, kakaknya Datu Bira menikah dan menetap di Hatoguan Pulau Samosir. Pernikahan inilah kemudian menjadi awal dari sebuah bencana, yang kemudian mengakhiri hidup kakak Datu Mangambe, yang terjadi atas sebuah persekongkolan yang diorganisir oleh seseorang bersama dengan kerabat dan keluarganya, karena cinta yang tak sampai.

Sejarah cinta segitiga yang dialami kakak Datu Mangambe, yang kemudian diketahui adalah penyebab kematian Datu Bira dan istrinya, dapat dibaca pada artikel lain, yang berjudul "Datu Bira"

Selang beberapa waktu setelah kakandanya menikah dan melahirkan putera pertama, Datu Mangambe memberitahukan kepada kedua saudaranya, bahwa ia berkeinginan hendak pulang ke Tipang kampung halaman mereka. Tentu saja kedua saudaranya bertanya, kenapa tiba-tiba Datu Mangambe berniat hendak pulang.

Tetapi kemudian kedua saudaranya dengan penuh suka cita mempersilahkan Datu Mangambe mewujudkan niatnya itu, lantaran ia bermaksud hendak mempersunting si Boru Nainggolan dan menjadikannya pendamping hidup. Kemudian Datu Mangambe bertolak ke Tipang kampung halamannya, dengan membawa serta si Boru Nainggolan untuk dijadikan istri.

Tak berapa lama berselang setelah sampai di Tipang, perasaan Datu Mangambe sangat tidak tenang. Batinnya bergejolak, pikirannya tertuju kepada kakandanya Datu Bira. Pirasaatnya berkata, bahwa di Hatoguan Pulau Samosir sedang terjadi bencana besar yang menimpa kakandanya itu. Dan pirasaat itu semakin menguat, saat ia mengingat kembali bahwa diantara kakandanya memang ada konflik dengan seseorang yang juga menginginkan Pinta Omas (istri kakandanya) untuk dijadikan istri.

Akhinya pirasat itu membuat Datu Mangambe memutuskan kembali ke Hatoguan Samosir, untuk memastikan benar atau tidaknya pirasaat yang terus menghantui batinnya. Dengan memutuskan kembali ke Hatoguan, maka peresmian pernikahan yang sudah direncanakan sejak semula, mau tidak mau harus dibatalkan, walau sesungguhnya "boras pir sudah disematkan di simanjujung (kepala) si Boru Nainggolan", yang mengisyaratkan bahwa si Boru Nainggolan secara adat telah sah menjadi istri Datu Mangambe dan menjadi bagian (parumaen) dari keluarga besar Borsak Jungjungan Silaban.

Belum juga ia sampai di Hatoguan Samosir, setengah perjalanan Datu Mangambe bertemu kakandanya tengah sekarat  tergeletak bersimbah darah di tengah jalan di hadapan anak dan istri. Rupanya Datu Bira dan keluarga kecilnya berusaha hendak pulang ke Tipang setelah ia mengalami bencana, diserang musuh utamanya di Hatoguan Samosir.

Melihat kondisi kakandanya, Datu Mangambe menangis meraung-raung, dan menyesalkan mengapa peristiwa itu sampai terjadi disaat ia tidak berada dekat dengan kakandanya. Sejak awal ia sudah mengkhawatirkan permusuhan kakandanya dengan seseorang, yang juga ingin memperistri istri kakandanya. Datu Mangambe sudah memperkirakan, jika permusuhan itu akan berkembang ketingkat yang membahayakan keselamatan nyawa, tetapi ia seolah melakukan pembiaran karena ia percaya kepada kemampuan kakandanya.

Dalam kondisi yang sangat memprihatinkan, kakandanya menjelaskan bagaimana peristiwa itu sampai terjadi. Dari penuturan kakandanya, Datu Mangambe kemudian menjadi tau dan sangat menyesalkan perbuatan adik mereka Datu Guluan, yang ternyata mempunyai andil yang sangat besar, sehingga bencana itu akhirnya menimpa Datu Bira.

Saat itu gelap gulita, Datu Mangambe berusaha keras untuk mengevakuasi kakaknya beserta anak dan istri, agar terlepas dari kejaran musuh. Rupanya untung tak bisa diraih malang tak bisa ditolak, Datu Bira kakaknya kemudian menyerah. Segala upaya evakuasi yang dia lakukan, tampaknya akan sia-sia.

Kondisi tubuh Datu Bira semakin melemah,  dan perjalananpun akhirnya berhenti. Situasi itu membuat Datu Mangambe bertambah khawatir. Dan kekhawatiran itu semakin meningkat, ketika kakaknya memohon untuk meninggalkan dirinya, dan melanjutkan perjalanan untuk menyelamatkan anaknya Sakkar Toba dan istrinya Pinta Omas.

Sungguh ia tidak sampai hati meninggalkan kakaknya sendirian dalam kondisi sekarat seperti itu. Datu Mangambe bersikeras menggendong kakaknya dan melanjutkan perjalanan. Sekali lagi Datu Bira memohon kepada Datu Mangambe untuk meninggalkannya sendirian. Kali ini Datu Bira mengatakan bahwa ia akan berakhir.

Mendengar permohonan kakaknya itu, Datu Mangambe menangis tersedu-sedu. Dengan perlahan, ia turunkan Datu Bira dari punggungnya. dan terus menangisi kakaknya itu. Sebelum menghembuskan nafas terakhirnya, Datu Bira sempat berpesan kepada Datu Mangambe, untuk menjaga anaknya Sakkar Toba dan istrinya Pinta Omas, serta memohon untuk membawanya ke tempat yang aman, tempat yang tak mungkin dijangkau musuh yang menginginkan kebinasaannya.

Dengan bercucuran air mata, Datu Mangambe mengangkat sumpah, dan berjanji mengasuh Sakkar Toba dan tidak akan menikah sebelum Sakkar Toba anak kakaknya itu berketurunan. Datu Mangambe sadar dengan ucapannya itu. Dengan mengangkat sumpah dihadapan kakaknya, ia telah mengambil resiko, yang akan mengundur waktu pernikahannya dengan si Boru Nainggolan, hingga waktu yang tidak diketahui sampai kapan.

Ketika Datu Mangambe pamit dan berniat untuk melanjutkan perjalanan, Putri Pinta Omas Boru Sinaga memutuskan untuk tidak turut pergi bersama Datu Mangambe. Putri Pinta Omas memilih untuk tinggal bersama suaminya, karena tidak ada kemampuan dalam dirinya untuk meninggalkan Datu Bira dalam kondisi seperti itu.

Putri Pinta Omas Boru Sinaga telah memutuskan, jikapun harus mati ia rela mati bersama suaminya, dan tetap menolak untuk meninggalkan suaminya Datu Bira, sekeras apapun usaha untuk memintanya pergi bersama Datu Mangambe.

>>>>>>> 

Sebegitu tiba di Tipang, Datu Mangambe segera memberitahukan kepada kerabatnya, tentang bencana yang telah menimpa Datu Bira di Hatoguan Samosir. Mendengar semua itu, kerabat Datu Mangambe menjadi murka. Tetapi Datu Mangambe mengingatkan seluruh kerabatnya agar tetap mengendalikan diri, sebab keamanan dirinya dan Sakkar Toba jauh lebih penting, daripada harus membalaskan dendam.

Daripada harus melakukan pembalasan, Datu Mangambe meminta seluruh kerabatnya untuk tetap waspada, sebagai usaha untuk bertahan jika kemudian musuh Datu Bira datang mengejar hingga ke Tipang.

Secara khusus kepada kekasihnya Si Boru Nainggolan, Datu Mangambe memohon pengertian untuk semua yang telah terjadi. Ia meminta kepada Si Boru Nainggolan agar bersabar dan tetap tinggal di Tipang. Datu Mangambe bersumpah, setelah Sakkar Toba menikah dan keturunan, Datu Mangambe akan kembali untuk menikahinya.

Untuk menghindari segala kemungkinan buruk, Datu Mangambe tidak berlama-lama tinggal di Tipang. Pada saat itu juga setelah Datu Mangambe menjelaskan semuanya, ia segera berpamitan kepada seluruh kerabatnya. Ia khawatir, musuh kakaknya sedang dalam perjalanan menuju Tipang,  untuk menemukan Sakkar Toba.

Seiring waktu, Sakkar Toba terus berkembang dan tumbuh semakin dewasa. Dan menyadari itu, kemudian Datu Mangambe memberi sinyal kepada Sakkar Toba, supaya segera mengakhiri masa lajang. Datu Mangambe memiliki alasan yang kuat untuk melakukan itu, sebab ia terikat pada sebuah wasiat kakaknya, untuk menjaga agar garis keturunan kakaknya Datu Bira terus tumbuh, berkembang dan berkelanjutan.

Tetapi menerima sinyal untuk segera mencari pendamping hidup, membuat Sakkar Toba menjadi sungkan. Kesungkanan itu muncul karena ia tau, Datu Mangambe sendiri sebagai pamannya juga masih hidup melajang. Datu Mangambe maklum, kalau Sakkar Toba tidak merasa nyaman, ketika Sakkar Toba disarankan untuk segera menikah. Sementara itu, tabu bagi adat istiadat setempat jika menikah mendahului orang yang lebih tua, yang masih memiliki ikatan keluarga.

Datu Mangambe menangkap dan memahami perubahan yang terjadi pada diri Sakkar Toba, sebagai reaksi atas sinyal yang ia berikan. Ia tau keponakannya itu merasa sungkan untuk menjawab tawarannya, karena ia sendiri sebagai paman masih hidup dalam kesendirian. Datu Mangambe sadar, kalau Sakkar Toba tidak tau persis peristiwa yang telah terjadi dimasa lalu.

Untuk meyakinkan Sakkar Toba, Datu Mangambe menjelaskan secara rinci peristiwa yang pernah terjadi terhadap keluarga pada masa yang telah lalu. Datu Mangambe menceritakan kembali, mengapa mereka berdua harus tinggal jauh dari sanak saudara. Penting bagi Sakkar Toba untuk mengetahui, wasiat ayahnya Datu Bira kepada dirinya, agar semuanya menjadi jelas.

Mendengar penjelasan itu, Sakkar Toba kemudian mengerti dan untuk menjawab tawaran pamannya, Sakkar Toba segera berkemas dan mempersiapkan diri, baik moral maupun mental. Ia tidak mau membuat pamannya kecewa setelah mengetahui begitu besar kasih sayang pamannya kepada keluarga dan dirinya.

Beberapa tahun berselang setelah melakukan perjalanan panjang, Sakkar Toba kembali ke kampung halaman. Ia membawa serta anak dan istrinya, guna diperkenalkan kepada sanak saudara. Terkejut bercampur bahagia Datu Mangambe melihat Sakkar Toba ada di hadapannya. Sakkar Toba datang bukan hanya bersama istri, tetapi ia datang juga bersama anak-anaknya. Kebahagiaan Datu Mangambe tentu sangat beralasan, mengingat ikrar dengan kakandanya Datu Bira telah terlaksana dengan baik.

Beberapa hari kemudian setelah Sakkar Toba kembali, Datu Mangambe menyampaikan hasratnya untuk kembali ke Tipang, dengan maksud menikahi Si Boru Nainggolan yang ia tinggal disana, dan akan segera kembali ke Silaban Rura setelah upacara pernikahan secara resmi usai.

Rupanya Datu Mangambe telah memutuskan untuk menetap dan hidup berumah tangga di Silaban Rura. Tidak berapa lama usai resmi menikahi Si Boru Nainggolan, Datu Mangambe kemudian meninggalkan Tipang dan kembali menuju Silaban Rura. Ia dan keponakannya Sakkar Toba kemudian sepakat untuk masing-masing mengusahai lahan yang sudah tersedia.

Selang beberapa tahun setelah Datu Mangambe menikahi Si Boru Nainggolan secara resmi dan tinggal di Silaban Rura bersama keponakannya Sakkar Toba, kemudian ia memutuskan untuk melakukan sebuah perjalanan, dalam upaya mengamalkan ilmu yang ia miliki. Ia bermaksud memanfaatkan ilmunya di tengah masyarakat, dengan melakukan perjalanan dari kampung ke kampung.

Sesungguhnya dalam diri Datu Mangambe berkembang sebuah semangat, yang menempa dirinya menjadi sosok yang lebih suka berpetualang. Semangat itu terpaksa ia redam, seiring dengan peristiwa yang telah menimpa saudaranya Datu Bira. Wasiat yang telah ia terima dengan sumpah, membuatnya harus menahan diri, terhadap semangat berpetualang yang menggelora dalam dirinya.

Setelah semua itu berlalu, kemudian semangat itu muncul kembali, dan sulit bagi Datu Mangambe untuk menahan gelora itu. Untuk hasratnya itu, ia harus menjelaskan semuanya kepada istrinya Si Boru Nainggolan, lalu meminta kepada istrinya agar diberi ijin. 

Sulit bagi siapapun untuk menolak permintaan Datu Mangambe, jika ia sudah menginginkannya. Jika keinginannya menemukan rintangan, maka Datu Mangambe akan menggunakan kemampuannya dengan mantera sesuai dengan kesaktian yang ia miliki.

Kemudian istrinya Si Boru Nainggolan luluh, dan mengijinkan Datu Mangambe untuk pergi berpetualang, dengan segala resiko yang akan berdatangan pada dirinya pasca kepergian Datu Mangambe. Setelah mempersiapkan segala sesuatu untuk mendukung perjalanannya, kemudian petualanganpun dimulai. Sebagai awal perjalanan, Datu Mangambe mengarahkan perjalanannya menuju Paranginan.

Tidak terlalu lama bagi Datu Mangambe untuk bisa diterima masyarakat, disetiap tempat dimana ia singgah. Kemampuannya memposisikan diri, membuat setiap orang bersimpati kepadanya. Datu Mangambe adalah sosok yang berkharisma, dan memiliki gaya bicara yang mampu membuat setiap orang terpesona.

Hal itu juga yang menjadi salah satu faktor penyebab, mengapa para wanita setempat begitu tertarik kepada Datu Mangambe. Disamping style, Datu Mangambe juga memiliki paras yang cukup tampan. Wajarlah jika para perempuan berharap untuk bisa duduk bersanding dan hidup sebagai istrinya.

Dari sekian perempuan yang menyukainya, Datu Mangambe memang menaruh hati kepada salah seorang diantaranya. Perempuan berparas rupawan itu kemudian diketahui berasal dari komunitas (marga) Sianturi. Seperti biasanya, jika Datu Mangambe sudah berkeinginan, sulit bagi siapapun untuk menolaknya. Tanpa harus diminta, gadis keturunan raja (boruni raja) Sianturi itu akhirnya datang sendiri.

Tidak butuh waktu lama bagi Datu Mangambe untuk meminta persetujuan dari Boru Sianturi, agar bersedia diboyong ke Silaban Rura kampung halamannya. Pada awalnya Boru Sianturi ragu, dengan status Datu Mangambe yang telah beristri. Tentu saja Boru Sianturi menolak untuk dipertemukan dengan istri pertama Datu Mangambe, sebab ia khawatir istri pertama Datu Mangambe akan bertindak irrasional.

Bukan Datu Mangambe namanya, jika ia tidak mampu membuat orang lain yakin terhadap dirinya. Dengan berbagai alasan, Datu Mangambe berusaha untuk membuat Boru Sianturi yakin, bahwa tidak akan terjadi apa-apa sesaat setelah nanti tiba di Silaban Rura. Dan akhirnya Boru Sianturi bersedia pergi bersama Datu Mangambe.

Si Boru Nainggolan istri pertama Datu Mangambe sangat kaget, melihat suaminya datang berdua dengan perempuan dewasa. Ia tidak mengira jika kepergian Datu Mangambe hanya untuk pulang dengan membawa serta seorang perempuan yang akan menjadi madunya. Tentu saja Boru Nainggolan marah dengan apa yang dia lihat.

Datu Mangambe sangat memaklumi kemarahan istrinya Boru Nainggolan, dengan kehadiran seorang perempuan yang pulang bersamanya. Apalagi, jika perempuan itu akan dijadikan istri oleh suaminya sendiri. Hal itu sangat wajar, dan sangat manusiawi.

Melihat kemarahan Boru Nainggolan, lalu Datu Mangambe mengeluarkan kekuatan ilmunya, dan kemudian membujuk Boru Nainggolan agar bersedia menerima Boru Sianturi sebagai madunya. Akhirnya Boru Nainggolan dapat menerima Boru Sianturi, untuk menjadi istri yang kedua bagi Datu Mangambe. Mereka sepakat untuk saling mengasihi dan berbagi dengan cara yang adil.

Pada saat Boru Sianturi datang bersama Datu Mangambe ke Silaban Rura, waktu itu Boru Nainggolan belum juga hamil. Oleh karena itu, kesepakatan itu kemudian meningkat kearah usaha untuk saling mendoakan, agar masing-masing diberi rakhmat kehamilan oleh Debata Mula Jadi Na Bolon (Tuhan Yang Maha Kuasa).

Setelah mendapat persetujuan dari Boru Nainggolan, Datu Mangambe dan kerabat kemudian membuat perencanaan untuk menyelenggarakan pesta pernikahannya bersama Boru Sianturi. Dan pesta itu kemudian berlangsung cukup meriah. Sebagai pertanda bahwa pernikahan antara Datu Mangambe dengan Boru Sianturi telah dilakukan secara resmi, maka kerabat Datu Mangambe mengirim utusan ke kerabat Boru Sianturi istrinya, untuk memberitahukan bahwa ia dengan boru Sianturi telah resmi menikah.

Tak lama berselang, beberapa bulan setelah pernikahannya dengan Datu Mangambe, kemudian Boru Sianturi hamil. Seiring dengan berjalannya waktu, saat untuk Boru Sianturi melakukan persalinanpun tiba. Segala persiapan untuk menyambut kelahiran seorang anak segera dilakukan, dan waktu yang dinantipun tiba, lahirlah seorang anak laki-laki lalu diberi nama Raja Itoba.

Mendengar informasi Boru Sianturi telah berhasil dalam persalinannya, tak terkira senangnya hati Boru Nainggolan. Sukacita itu semakin lengkap ketika ia ketahui Boru Sianturi madunya, melahirkan seorang anak laki-laki. Kegembiraan yang meluap dari hati Boru Nainggolan atas peristiwa itu, muncul dari percaya dirinya bahwa setelah itu ia juga akan mendapat anugerah yang sama, seperti apa yang telah mereka ucapkan sebagai wujud saling mendoakan, pada saat ia menerima Boru Sianturi sebagai madunya, dan menjadi istri yang kedua bagi suaminya Datu Mangambe.

Kepercayaan Boru Nainggolan untuk segera mendapatkan momongan pasca persalinan Boru Sianturi akhirnya menjadi kenyataan. Doa yang ia panjatkan dan didukung oleh Boru Sianturi, oleh Sang Dewata kemudian dikabulkan. Boru Nainggolan dinyatakan hamil, dan beberapa bulan setelah itu, iapun melahirkan pula seorang anak laki-laki yang kemudian dikenal dengan nama Tunggul Bauta.

Semangat berpetualang yang telah menjadi bagian dari hidup Datu Mangambe terus menggelora. Hal itu kemudian menumbuhkan niat baru, untuk melakukan petualangan baru. Niat itu kemudian disampaikan kepada kedua istrinya, lalu dibicarakan bersama dengan anak-anaknya. Tentu saja hal itu di respon dingin oleh kedua istrinya, karena mereka tau jika Datu Mangambe telah berkeinginan, maka hal itu harus terjadi, tak mungkin hal itu bisa ditunda. Lalu kedua istri dan anak-anaknya menyerahkan kembali kepada Datu Mangambe untuk memutuskan sendiri.

Kali ini Datu Mangambe mengarahkan perjalanannya ke sebelah utara, hingga sampai pada sebuah tempat yang diketahui bernama Sibuntuon-Porsea. Seperti biasa, di tempat itu Datu Mangambe segera mendapat tempat di hati masyarakat, berkat kepiawaiannya dalam bertutur kata, dan didukung kepribadiannya yang berkharisma.

Bukan hanya masyarakat umum saja yang tertarik kepada figur Datu Mangambe. Bahkan penguasa daerah setempat juga menjadi simpatisan Datu Mangambe. Karena simpatinya, penguasa daerah setempat yang berasal dari keturunan raja (marga) Manurung, tertarik untuk menjadikan Datu Mangambe sebagai menantu. Dan jadilah seperti itu, sebab setelah itu salah seorang dari putri raja Manurung akhirnya diperistri Datu Mangambe.

Sekalipun Datu Mangambe memiliki kemampuan ilmu berada di atas rata-rata, ia tidaklah arogan karenanya. Hal itu dapat diketahui, dengan begitu baiknya relasi Datu Mangambe dengan masyarakat Sibuntuon secara khusus dan masyarakat Porsea secara umum. Jika ia arogan, tentu hubungannya dengan masyarakat sudah pasti akan terganggu. Dia selalu menjadi idola, bagi siapapun yang pernah melakukan pembicaraan langsung dengannya.

Kabar tentang Datu Mangambe tersebar sampai kemana-mana. Kepintarannya, kesaktiannya dan kemampuannya yang berada diatas rata-rata, tersebar dari mulut ke mulut hingga ke berbagai daerah. Sehingga, harus berpikir dua kali bagi musuh, untuk menyerang Sibuntuon, karena mereka tau, Datu Mangambe telah menjadi menantu bagi Sibuntuon.

Beberapa bulan setelah pernikahannya dengan Datu Mangambe, lalu si boru Manurung hamil tak lama setelah itu ia melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Ulu Balang Tampak. Setelahnya, beberapa tahun kemudian lahir pula tiga orang anak perempuan, adik bagi Ulu Balang Tampak.

Cukup lama Datu Mangambe tinggal di Sibuntuon-Porsea. Ia tinggal disana bersama anak-anaknya dan istrinya si Boru Manurung. Kerinduannya terhadap kampung halaman dan kedua istri bersama anak-anaknya, kemudian menimbulkan keinginannya untuk pulang ke Silaban Rura. Di dalam hatinya, Datu Mangambe ingin cepat-cepat berjumpa dengan kedua anaknya Raja Itoba dan Tunggul Bauta.

Keinginan untuk kembali ke Silaban Rura, oleh Datu Mangambe kemudian diutarakan kepada istrinya, kepada mertuanya dan kepada seluruh kerabat di Sibuntuon-Porsea. Semula ada penolakan dari istri dan ayah mertuanya, tetapi ijin itu akhirnya ia dapatkan setelah Datu Mangambe memberikan penjelasan, mengapa ia harus kembali ke Silaban Rura.

Ulu Balang Tampak dan ketiga adik perempuannya sudah tumbuh dewasa saat mereka dan ibunya si Boru Manurung diboyong ke Silaban Rura oleh Datu Mangambe. Berbeda dengan si Boru Manurung yang pikirannya bergejolak karena khawatir dengan apa yang akan terjadi sesampainya di Silaban Rura, Ulu Balang Tampak dan ketiga adik perempuannya justru pikirannya bergejolak oleh rasa sukacita, karena akan berjumpa dengan sanak saudara, khususnya dengan dua saudara mereka yang tinggal di Silaban Rura.

Setelah melakukan perjalanan panjang, akhirnya Datu Mangambe beserta keempat anak dan istri ketiganya si Boru Manurung tiba di Silaban Rura. Datu Mangambe disambut kedua anaknya, mereka berpelukan saling melepas rindu. Pun Raja Itoba, Tunggul Bauta, Ulu Balang Tampak dan ketiga adik perempuan mereka, juga ikut berpelukan setelah mereka saling memperkenalkan diri. Mereka sadar, bahwa mereka adalah saudara walau lahir dari rahim yang berbeda.

Kedua istri Datu Mangambe yang ditinggal di Silaban Rura, si Boru Nainggolan dan si Boru Sianturi, sudah menduga bahwa Datu Mangambe akan pulang dengan membawa istri baru, seperti yang terjadi pada waktu sebelum-belumnya. Datu Mangambe juga menyadari, tidak mudah bagi si Boru Nainggolan dan si Boru Sianturi menerima situasi itu. Tetapi Datu Mangambe meyakinkan kedua istrinya dengan berbagai alasan, dan seperti biasanya selalu berakhir dengan baik dan situasipun menjadi tenteram.

Walau pasca kepulangannya dengan membawa si Boru Manurung istri ketiganya tidak menimbulkan kekacauan, tetapi ia telah berpikir jauh ke depan. Ia berpikir, jika ketiga istrinya tinggal pada tempat yang berdekatan, ia khawatir suatu saat nanti akan terjadi konflik diantara mereka, bahkan antara anak-anaknyapun, sangat dimungkin akan terjadi perselisihan. 

Oleh karena itu, Datu Mangambe kemudian berencana membuka lahan dan pemukiman baru, tempat untuk tinggal bagi istrinya si Boru Manurung dan keempat anaknya. Agar apa yang dia khawatirkan tentang konflik diantara para istrinya itu tidak terjadi.

Rupanya Datu Mangambe menjadikan rencana itu sebagai program utama, diatas semua program yang hendak ia kerjakan. Sambil berjalan, pikiran Datu Mangambe terus berkelana, berusaha menemukan tempat. Cukup jauh Datu Mangambe berkelana, dan kemudian berhenti pada sebuah tempat, jauh dari pemukiman dimana si Boru Nainggolan dan si Boru Sianturi tinggal.

Esok harinya Datu Mangambe menuju tempat yang ia lihat dari kejauhan dan menelusuri lereng hingga tiba pada puncak sebuah bukit. Dari situ ia melepaskan pandangan selepas mata memandang, dan ia tersenyum karena ia menemukan apa yang ia cari, yaitu sebuah lembah yang baik untuk diolah menjadi lahan pertanian. Dan di dekat situ matanya menemukan pula hamparan tanah datar yang sangat memungkinkan untuk dijadikan tempat tinggal.

Datu Mangambe sangat bersuka cita atas penemuannya itu. Dengan penemuan lahan baru itu, masalah yang membebani pikirannya akhirnya menemukan solusi. Paling tidak, dengan jarak tempat tinggal yang relatif jauh, kemungkinan untuk terjadi konflik sangatlah kecil. 

Ditemukannya lahan baru itu kemudian diberitahukan kepada si Boru Manurung istri ketiga Datu Mangambe, sekaligus mengajak untuk tinggal menetap di sana. Si Boru Manurung dapat membaca jalan pikiran suaminya dengan cepat. Si Boru Manurung tau persis tujuan Datu Mangambe dibalik informasi yang ia terima.

Si Boru Manurung merasa tidak perlu mendebat rencana Datu Mangambe untuk tinggal di lahan yang baru saja ditemukan, karena ia tau semua itu dilakukan untuk menghindar dari konflik yang sangat mungkin terjadi, antara dia dan kedua istri tua suaminya. Oleh karena itu si Boru Manurung kemudian menyetujui ajakan Datu Mangambe untuk tinggal di lahan yang baru saja ditemukan.

Saat hari masih pagi sekali, Datu Mangambe dan istri ketiganya si Boru Manurung beserta keempat anaknya, tiba dilahan yang dituju. Tidak menunggu lama, Datu Mangambe dibantu si Boru Manurung dan keempat anaknya segera mempersiapkan lahan, kemudian mendirikan bangunan rumah yang sangat sederhana, tempat mereka untuk tinggal. 

Walau dengan wujud yang sangat sederhana, Datu Mangambe dan istrinya si Boru Manurung berserta anak-anak mereka, kemudian tinggal di rumah yang baru saja selesai didirikan, dan sudah diputuskan untuk tinggal dan menetap disana, kemudian mereka sebut tempat itu dengan nama Sitapean, karena memang tempat itu persis berada di tepi rawa-rawa (dalam bahasa Batak Toba disebut "pea")

Setelah semua kelengkapan untuk hidup ke depan sudah tersedia bagi istrinya si Boru Manurung dan keempat anaknya, Datu Mangambe kemudian mengatur strategi untuk rencana melanjutkan petualangannya. Pada sebuah kesempatan, Datu Mangambe mengutarakan niatnya itu kepada anak dan istrinya si Boru Manurung.

Si Boru Manurung istri Datu Mangambe beserta keempat anaknya menyarankan agar Datu Mangambe tidak perlu lagi melakukan petualangan mengingat usia Datu Mangambe sudah tidak muda lagi. Tetapi sulit bagi Datu Mangambe untuk mundur dari sebuah rencana yang sudah menjadi keinginannya. Si Boru Manurung dan keempat anaknya akhirnya menyerahkan keputusan kepada Datu Mangambe. Walau sekedar untuk tinggal lebih lama lagi, si Boru Manurung dan keempat anaknya tak mampu menahan Datu Mangambe.

Setelah meluluhkan hati istri dan keempat anaknya, kemudian Datu Mangambe memantapkan niatnya untuk melangkah dan pergi meninggalkan keempat anaknya bersama istrinya si Boru Manurung di Kampung Sitapean. 

Usai mendapatkan ijin dari istrinya si Boru Manurung, kemudian Datu Mangambe mendatangi istrinya si Boru Nainggolan dan si Boru Sianturi  di Silaban Rura, untuk mendapatkan ijin seperti yang ia sudah dapatkan dari si Boru Manurung. Si Boru Nainggolan sebagai istri tertua mendapat kesempatan pertama untuk ia datangi, lalu mengutarakan niatnya untuk melanjutkan petualangan. Tetapi si Boru Nainggolan yang telah menyimpan rasa tidak suka atas perkawinan Datu Mangambe dengan si Boru Manurung, lalu menanggapi niat dan kehadiran Datu Mangambe dengan  sikap yang sangat dingin.

Menyadari si Boru Nainggolan bersikap sangat dingin, kemudian Datu Mangambe mengatur siasat dengan merayu si Boru Nainggolan, dengan bisa menundukkan hati istri tertuanya itu. Tetapi si Boru Nainggolan tidak termakan rayuan, malah semakin marah dan menyerang Datu Mangambe.

Awalnya Datu Mangambe menanggapi situasi itu sebagai hal yang biasa saja, namun ia melihat si Boru Nainggolan ternyata cukup serius. Si Boru Nainggolan telah berani bertindak lebih jauh, dengan merampas pisau yang terselip di pinggang Datu Mangambe, lalu menyerang Datu Mangambe.

Melihat si Boru Nainggolan semakin marah tak terkendali, Datu Mangambe memutuskan untuk pergi dari situ. Rupanya pintu rumah sudah tertutup dengan rapat, sehingga untuk melepaskan diri dari kejaran si Boru Nainggolan ia harus melompat dari jendela, dan pergi menjauh meninggalkan amarah yang telah menguasai pikiran si Boru Nainggolan.

Lepas dari amarah si Boru Nainggolan, bukan berarti Datu Mangambe bisa bernafas dengan lega. Peristiwa itu malah semakin membebani pikirannya, apalagi si Boru Nainggolan berteriak melontarkan ancaman saat Datu Mangambe pergi meninggalkan dirinya dalam kemarahan. Si Boru Nainggolan mengatakan bahwa konflik itu tidak akan berhenti sampai disitu, dan akan memberitahukan peristiwa itu kepada kerabatnya di Hatoguan-Samosir.

Ancaman si Boru Nainggolan itu rupanya mampu membuat pikiran Datu Mangambe menjadi gundah. Jika hal itu sungguh-sungguh terjadi, maka permasalahan itu bisa meningkat menjadi konflik yang berkepanjangan.

Untuk menghindari konflik yang lebih besar, Datu Mangambe memutuskan untuk segera pergi mewujudkan rencananya, karena ia berpikir tidak baik juga untuk berperang melawan pihak hula-hula (orang tua dan kerabat istri), yang oleh Datu Mangambe adalah golongan yang sangat ia hormati.

Kali ini Datu Mangambe melangkah menuju arah matahari terbit sebagai arah perjalanannya. Dengan mengambil rute itu, maka ia akan melalui Kampung Sitapean tempat dimana ia memposisikan istrinya Boru Manurung dan anaknya Ulubalang Tampak beserta ketiga anak perempuan mereka.

Pada kesempatan itu, Datu Mangambe menjelaskan kepada Boru Manurung peristiwa yang terjadi di Silaban Rura, antara dirinya dengan Boru Nainggolan, termasuk ancaman yang ditujukan kepada dirinya. Ia berpesan kepada Boru Manurung dan keempat anaknya, agar tidak melayani sikap emosional Boru Nainggolan, jika ia mencari Datu Mangambe sampai ke Sitapean.

Datu Mangambe menambahkan, bahwa ia akan pergi untuk bertemu dengan orang tua dan kerabat Boru Manurung di Sibuntuon - Porsea. Maka jika kerabat Boru Nainggolan terbukti datang mencari dirinya ke Sitapean, Datu Mangambe berpesan, agar istri dan anaknya itu cukup menjawab tidak tau, karena Datu Mangambe pergi mengikuti langkahnya, yang tidak tentu kemana arahnya.

Kemudian Datu Mangambe pamit pergi, dengan meninggalkan berbagai pesan untuk Boru Manurung dan anak-anak, sebagai bekal dalam menghadapi kemungkinan berbagai rintangan, selama Datu Mangambe jauh dari mereka.

Menembus hutan menyeberang sungai, demikian suasana perjalanan Datu mangambe. Sekalipun naik gunung lalu turun lagi menuju lembah, hal itu tidak membuat Datu Mangambe mengurungkan niat untuk menghentikan petualangan itu. Ia terus berjalan hingga sampai pada sebuah tempat, dimana dia mendengar suara dan alunan alat musik sedang dimainkan.

Suara alat musik itu memberitahukan kepada Datu Mangambe bahwa di sekitar tempat dimana ia berdiri sudah sangat dekat pemukiman warga, dan suara alat musik itu adalah pertanda bahwa disana sedang berlangsung Pesta Bolon (perayaan akbar), pesta yang hanya bisa digelar orleh mereka yang berkemampuan secara ekonomi.

Dan dari alunan musik yang dimainkan, Datu Mangambe memastikan bahwa pesta itu adalah pesta sukacita. Dari nada suara yang terdengar, alunan musik itu juga menggambarkan suasana hati tuan rumah yang tengah merasakan kegembiraan, yang diungkapkan dalam bentuk perayaan pesta pada tingkat kemewahan yang sangat tinggi.

Tidak terlalu lama, akhirnya Datu Mangambe tiba di pemukiman warga, tempat dimana pesta akbar itu sedang berlangsung. Tiba di tempat, Datu Mangambe bukannya langsung masuk ke lokasi pesta, tetapi ia malah mencari tempat di gerbang utama jalan masuk ke kampung, untuk bisa duduk dengan santai.

Duduk santai bukan berarti sekedar duduk, tetapi Datu Mangambe duduk dengan mengambil sikap bagaimana seorang pertapa. Dalam duduknya Datu Mangambe membacakan sebuah mantra, yang isingya adalah perintah agar suara musik itu tidak terdengar oleh siapapun, kecuali dirinya. Dan berkat ilmu sakti yang ia miliki, Datu mangambe berhasil membuat alat musik itu tidak bersuara, sekalipun ditiup atau dipukul dengan sangat keras. 

Mengetahui musik yang dimainkan tidak mengeluarkan suara, maka hadirinpun menjadi heran, mengapa hal itu bisa terjadi. Yang tak kalah heran pada peristiwa itu adalah para personil yang memainkan alat musik, sebab sekeras apapun mereka memainkannya, tetap saja alat musik tidak mengeluarkan suara.

Rupanya tuan rumah yang menggelar pesta akbar pada saat itu adalah Raja Datu Silo Nabolon, salah seorang keturunan dari raja (marga) Simanuntak, yang menjadi penguasa di daerah itu. Menyadari sedang terjadi permainan ilmu sakti, kemudian sang penguasa Datu Silo Nabolon bangkit dari tempat dimana ia duduk.

Raja Datu Silo Nabolon kemudian angkat bicara, dan memohon kepada seluruh hadirin baik Kaum Berilmu (sakti) maupun Kaum Awam (masyarakat biasa) agar membersihkan hati dan pikiran mereka dari segala keinginan jahat, agar setiap orang yang turut dalam pesta dapat merasakan sukacita.

Mendengar Datu Silo Nabolon berujar, kemudian semua hadirin melakukan usaha dengan cara masing-masing, agar peralatan musik yang dimainkan dapat mengeluarkan suara. Tetapi tetap saja peralatan musik tidak mengeluarkan suaranya, sekeras apapun alat musik itu ditiup dan dipukul.

Semua yang hadir tidak mempu berbuat banyak dan usaha keras mereka berakhir sia-sia. Tentu saja para hadirin tak mampu berbuat banyak, sebab kekuatan ilmu yang Datu Mangambe miliki, tak satupun mampu menandingi. Raja Datu Silo Nabolon sebagai tuan rumah, akhirnya mengeluarkan sebuah keputusan penting.

Hal itu diambil lantaran Datu Silo Nabolon sadar, bahwa sedang terjadi permainan ilmu tingkat tinggi, sehingga dirasa perlu untuk mengambil sebuah keputusan penting, agar pesta bolon yang telah direncanakan sejak lama, tidak berhenti begitu saja. Datu Silo Nabolon tidak mau, pesta yang dirancang sedemikian rupa dengan biaya yang cukup besar, kemudian berakhir dengan sia-sia.

Tuan rumah yang juga adalah penguasa daerah, kemudian meminta kepada salah seorang pesuruhnya, untuk mengambil peralatan menulis dan segera membuat pernyataan penting secara tertulis, yang isinya ; “Barang siapa mampu membuat peralatan musik itu bisa bersuara seperti sediakala, jika ia adalah pria maka akan saya nikahkan dengan putri kesayangan saya, Putri TALIAN NAULI, tetapi jika ia seorang wanita, maka akan saya berikan kepadanya sebagain daripada harta kekayaan saya”

Kemudian pernyataan tertulis itu dibacakan dihadapan kahalayak ramai, dengan harapan segera muncul satu dari antara hadirin, sebagai dewa penolong bagi tuan rumah, agar pesta bolon itu dapat dilanjutkan kembali. Tetapi tungu punya tunggu, tak seorangpun yang muncul dan mampu menyelesaikan persoalan yang tengah dihadapi Sang Tuan Rumah.

Tidak berhenti disitu, kemudian Datu Silo Nabolon mengutus beberapa orang pengawalnya, untuk berkeliling mendatangi kampung-kampung sekitar, guna menginformasikan pernyataan tertulis Sang Penguasa, sebagai upaya untuk mengakhiri persoalan yang sedang dia alami. Tak menunggu lama, kemudian para pengawalnya segera pergi untuk melaksanakan perintah Datu Silo Nabolon.

Belum juga keluar dari pintu gapura kampung, para pengawal Datu Silo Nabolon melihat seorang pria paruh baya tengah duduk persis di depan gapura. Kemudian mereka saling sapa sebagai interaksi antara pengawal Datu Silo Nabolon dengan pria paruh baya yang tak lain adalah Datu mangambe, yang kemudian bertanya; “Apa yang terjadi”

Tak pikir panjang, para pengawal Datu Silo Nabolon menjawab pertanyaan Datu Mangambe dengan menjelaskan masalah yang telah terjadi. Mendengar penjelasan yang sudah ia ketahui, membuat Datu Mangambe merasa geli sendiri. Namun ia memberikan respon yang baik kepada para pengawal, dan meminta mereka untuk kembali lagi ke pesta akbar itu, sebab alat musik sudah bisa mengeluarkan suara sperti sedia kala.

Para pengawal Datu Silo Nabolon kemudian kembali, dan melaporkan hasil pembicaraannya dengan Datu Mangambe. Mendengar laporan para pengawalnya, lalu tuan rumah meminta para pemain musik untuk melanjutkan aksinya. Benar saja, suara alat musik kemudian terdengar dan mengalun dengan sangat indah.

Tetapi hal itu tidak berlangsung lama, sebab suara musik yang sudah terdengar segera hilang kembali, dan seperti sebelumnya sekeras apapun para pemain memukul atau meniup alat musik mereka, suara tetap saja tidak terdengar. Kemudian para pengawal segera menemui Datu mangambe, dan olehnya disuruh kembali ke pesta dan musikpun mengalun kembali.

Kejadian yang sama terulang hingga tiga kali, sampai kemudian untuk keempat kalinya, Datu Silo Nabolon memerintahkan para pengawalnya untuk membawa serta Datu Mangambe, agar Datu Silo Nabolon berbicara secara langsung, sekaligus ingin mengenal dan mengetahui secara langsung, apa yang menjadi keinginan pria paruh baya itu.

Saat bertemu, Datu Silo Nabolon menyapa kemudian bertanya siapa dan darimana Datu Mangambe berasal. Datu Mangambe menjawab tuan rumah dengan santun, dan memperkenalkan dirinya dengan rinci. Khusus untuk Datu mangambe, sang penguasa mengulangi pernyataan tertulisnya dengan membacakan kembali pernyataan itu di hadapan Datu Mangambe

Menyikapi pernyataan tertulis Datu Silo Nabolon yang secara khusus dibacakan sendiri untuknya, Datu Mangambe kemudian menanggapi pernyataan itu dengan menerima tantangan yang ditawarkan. Tetapi sebelum itu ia lakukan, Datu Mangambe meminta agar sang putri yang disayembarakan, terlebih dahulu menyediakan makanan khusus yang sungguh disukai Datu Mangambe.

Untuk permintaan Datu mangambe itu, Datu Silo Nabolon segera memerintah salah seorang pengawalnya untuk memanggil sang putri, agar Datu Mangambe menyampaikan secara langsung, apa yang hendak dipersiapkan untuk dihidangkan.

Tak lama berselang, putri penguasa itu kemudian muncul di hadapan Datu mangambe, dan keduanya tampak terlibat adu pandang, lalu melahirkan sinar positif di wajah mereka berdua pertanda Putri Talian Nauli dan Datu Mangambe saling menyukai. Pertanda itu semakin diperkuat lewat ucapan sang putri, bahwa ia telah mempersiapkan makanan kesukaan Datu Mangambe sebelum pria paruh baya itu memberitahunya, karena sebelumnya hal itu telah diberitahukan lewat mimpi.

Mendengar ucapan putrinya, Datu Silo Nabolon memerintahkan untuk mengambil dan segera dihidangkan ke hadapan Datu Mangambe. Putri Tailan Nauli segera menghidangkan Itak (beras tumbuk yang dikepal bersama gula dan kelapa parut) makanan kesenangan Datu Mangambe.

Datu Mangambe menerima pemberian Putri Tailan Nauli dengan senang hati, dan menikmatinya dengan rasa cinta. Usai itu, Datu Mangambe mempersilahkan para pemain musik untuk beraksi kembali, lalu hadirin kembali masuk kedalam suasana sukacita, semua bergembira dibuai alunan musik, bersenang-senang hingga ke penghujung acara.

Hari berikut sebelum pukul dua belas siang, Datu Mangambe minta ijin untuk bertemu dengan Datu Silo Nabolon. Saat bertemu, Datu Mangambe bertanya perihal pertanyataan tertulis yang dibacakan sehari sebelumnya, dan tantangan yang diberikan sudah dikerjakan dan berakhir dengan baik.

Walau Datu Silo Nabolon menyanggupi dan akan memenuhi janjinya kepada Datu Mangambe, tetapi jauh dalam lubuk hati Datu Silo Nabolon tidak rela putri kesayangannya dipersunting pria yang telah berumur, pria paruh baya. Datu Silo Nabolon tidak legowo jika putrinya yang tergolong masih muda belia harus diperistri oleh seorang pria setengah tua.

Untuk mewujudkan niat itu, Datu Silo Nabolon meminta sinamot (mahar) sebagai persyaratan yang harus dipenuhi Datu Mangambe, dan semua persyaratan yang harus dilengkapi Datu Mangambe adalah persyaratan yang mustahil dapat dipenuhi orang biasa.

Sebagai persyaratan untuk menikahi putrinya, Datu Silo Nabolon meminta seekor gajah kepada Datu Mangambe sebagai sinamot, dengan pesta bolon (akbar) selama tiga hari tiga malam secara berturut-turut sebagai wujud syukur atas upacara pernikahan. Datu Silo Nabolon menambahkan persyaratan, untuk makan selama pesta harus menghidangkan makanan dengan daging rusa sebagai lauknya.

Sedikitpun Datu Mangambe tidak merasa keberatan dengan persyaratan yang ditawarkan Datu Silo Nabolon kepadanya. Tanpa berpikir lebih lama, Datu Mangambe segera menjawab tantangan Datu Silo Nabolon, bahwa seluruh persyaratan yang dipinta Datu Silo Nabolon, besoknya dipagi hari seluruhnya sudah ada.

Mendengar kesiapan Datu Mangambe untuk memenuhi seluruh pesyaratan yang diminta, Datu Silo Nabolon menjadi heran bercampur bingung. Tentu saja bingung, sebab persyaratan itu tergolong kepada persyaratan yang tidak mungkin bisa dipenuhi. Jika Datu Mangambe mampu memenuhi persyaratan yang diminta, dengan demikian Datu Mangambe adalah salah satu dari orang yang dikategorikan bukan sembarang orang.

Demikian Datu Silo Nabolon berpikir tentang Datu mangambe, dan ia mulai menempatkan Datu Mangambe di hatinya, sebagai sosok yang patut untuk diperhitungkan. Padahal Datu Silo Nabolon membuat persyaratan yang mustahil, agar Putri Tailan Nauli gagal menikah dengan pria setengah tua itu, pria yang tak lain adalah Datu Mangambe.

Datu Mangambe kemudian bertolak menuju hutan belantara, untuk mencari gajah dan rusa guna memenuhi persyaratan yang diajukan Datu Silo Nabolon, agar jalan untuk menikahi Putri Tailan nauli terbuka luas baginya. Betapa ia jatuh hati kepada sang putri, saat mata mereka berdua sempat saling adu tatap pada pandang yang pertama.

Hari sudah sore, saat Datu Mangambe tiba di hutan. Kemudian ia mencari tempat yang memungkinkan bagi dirinya untuk duduk dengan baik. Setelah ia menemukan tempat yang tepat, Datu Mangambe kemudian duduk dengan mengambil sikap sebagaimana orang hendak bertapa, lalu membaca mantera. Tidak berapa lama setelah duduk dan membaca mantera, kemudian segerombol rusa muda datang menghampiri Datu Mangambe, lalu berdiri di sekelilingnya.

Kemudian oleh Datu Mangambe, rusa-rusa itu digiring menuju mata air dan diperintahkan untuk diam dan tinggal disana. Lalu seluruh rusa itu diam mengelilingi sumber air itu, dan tidak bisa pergi kemana-mana. Kemampuan Datu Mangambe yang memiliki ilmu sakti, memungkinkan ia untuk membuat seluruh rusa dan isi hutan itu menurut kepadanya.

Setelah ia rasa rusa yang ia kumpulkan cukup, kali ini Datu Mangambe mulai berpikir keras, bagaimana dan darimana ia bisa menemukan gajah. Datu Mangambe mencoba
mengikuti aliran air tempat ia mengumpulkan rusa-rusa tangkapannya, jauh sampai ke tengah hutan.

Ditepi hutan di tepi sungai, ia berjumpa dengan seseorang yang memiliki rupa sangat menakutkan. Tanpa basa-basi tidak ada saling sapa, makhluk itu langsung menyerang Datu Mangambe. Mereka terlibat perkelahian seru dan berlangsung hingga tengah malam, dan tak satupun dari mereka yang bisa menaklukkan lawan.

Keduanya menyadari, bahwa perkelahian mereka tidak akan berakhir, maka mereka sepakat untuk berhenti dan tidak melanjutkan lagi perkelahian itu. Lalu keduanya berkenalan, dan sosok menakutkan itu rupanya bernama Mata Sopiak, salah satu pria anak keturunan dari raja (marga) Sitorus.

Mengetahui waktu mulai mendekati pagi, Datu Mangambe kemudian memberitahukan kepada Mata Sopiak, tujuan perjalanannya hingga sampai ke tengah hutan belantara itu, dan sekaligus meminta bantuan Mata Sopiak untuk menghadirkan seekor gajah yang gagah dan besar, untuk ia persembahkan kepada Datu Silo Nabolon sebagai sinamot (mahar) untuk menikahi putrinya.

Mata Sopiak bersedia membantu Datu Mangambe tetapi dengan syarat, jika gajah yang dibutuhkan telah didatangkan, Datu Mangambe harus mencarikan seorang wanita untuk dijadikan istri oleh Mata Sopiak. Datu Mangambe sama sekali tidak keberatan dengan persyaratan yang ditawarkan. Jika Mata Sopiak dapat mendatangkan gajah yang dibutuhkan, maka Datu Mangambe juga akan memenuhi permintaan Mata Sopiak.

Setelah sepakat dengan persyaratan masing-masing, kemudian Mata Sopiak bersiul dan tak lama setelahnya datanglah seekor gajah yang gagah dan besar menghampiri mereka, lalu Mata Sopiak meminta agar Datu Mangambe menungganginya dan segera pergi ke kampung Datu Silo Nabolon di Lumban Sigala-gala – Balige, mengingat fajar telah menyingsing pertanda pagi akan tiba.

Kemudian Datu Mangambe pamit pergi setelah sebelumnya berkata kepada Mata Sopiak sahabat barunya itu, agar tidak khawatir tentang janjinya karena setelah urusan Datu Mangambe usai, ia pasti akan menepati janjinya dengan membawa seorang wanita untuk dijadikan istri oleh Mata Sopiak.

Masih sangat pagi, matahari belum bangkit dari peraduannya Datu Mangambe telah tiba di perkampungan Datu Silo Nabolon, dengan membawa  serta sekawanan rusa dan seekor gajah sesuai dengan permintaan Datu Silo Nabolon. Seluruh rusa oleh Datu Mangambe dimasukkan ke kandang ternak yang kebetulan kosong, persis dibawah rumah Datu Silo Nabolon, hingga kandang itu penuh sesak dengan rusa. Sementara itu, gajah diikat disalah satu tiang yang terpancang di tengah halaman.

Pagi-pagi saat matahari mulai muncul di ufuk timur, Datu Mangambe segera mendatangi Datu Silo Nabolon, memberitahukan bahwa persyaratan yang diminta, telah didatangkan lengkap sesuai dengan permintaan Datu Silo Nabolon. Menyadari semua permintaan telah terpenuhi, Datu Silo Nabolon mulai mengagumi Datu Mangambe sebagai seseorang yang memiliki kemampuan secara khusus.

Melihat gajah yang begitu besar, timbul rasa takut dalam hati Datu Silo Nabolon, ia khawatir jika gajah itu mengamuk bisa-bisa seluruh isi kampung akan porak poranda. Untuk itu Datu Silo Nabolon miminta agar Datu Mangambe memindahkan gajah itu, ke padang rumput yang ada di luar kampung.
Menyadari Datu Mangambe adalah sosok orang yang memiliki ilmu tinggi, Datu Silo Nabolon tidak lagi berniat untuk mencari alasan, bagaimana supaya pernikahan antara Datu Mangambe dengan putrinya tidak berlanjut. Seperti yang telah ia janjikan, pesta tiha hari tiga malam kemudian digelar, untuk memeriahkan upacara pernikahan Datu Mangambe dengan putrinya Putri Tailan Nauli.

Pasca pernikahannya dengan Putri Tailan Nauli, Datu Mangambe mendapat lahan yang cukup dari ayah mertuanya Datu Silo Nabolon untuk diusahai, sekaligus di tempat itu juga didirikan rumah untuk tinggal. Datu Silo Nabolon sengaja memilih tempat itu karena memang lahan itu dekat dengan sumber air. Hal itu dilakukan, agar mereka kelak tidak kesulitan untuk memenuhi kebutuhannya akan air.

Tiga bulan berselang setelah pernikahan, Putri Tailan Nauli diketahui telah berbadan dua. Pada waktu yang sama, Datu Mangambe juga teringat akan apa yang telah ia ucapkan sebagai janji di hadapan Mata Sopiak, yang telah membantu dirinya untuk mendpatkan seekor gajah, sehingga ia dapat melengapi persyaratan mahar guna memenuhi hasratnya untuk mendapatkan Putri Tailan Nauli yang kemudian menjadi istrinya.

Datu Mangambe menjelaskan semua peristiwa itu, sampai kemudian berakhir pada sebuah janji. Janji harus ditepati dan harus dibayar. Begitulah Datu Mangambe bersikap terhadap sebuah janji. Oleh karena itu, Datu Mangambe menyampaikan niat itu kepada istrinya, bahwa ia akan pergi menunaikan janji membawakan seorang wanita untuk dijadikan istri oleh Mata Sopiak.

Namun rasa cinta terhadap Datu Mangambe membuat Putri Tailan Nauli untuk mengambil sebuah keputusan. Putri Tailan Nauli memutuskan untuk ikut erta kemanapun Datu Mangambe pergi. Kali ini Datu Mangambe tidak mampu menolak dan ia mengabulkan permintaan istrinya Putri Tailan Nauli.

Setelah persiapan untuk bepergian dirasa cukup, kemudian Datu Mangambe dan istrinya Putri Tailan Nauli bertolak menuju dan masuk hutan belantara dimana Mata Sopiak tinggal. Tetapi sebelumnya, Datu Mangambe telah membicarakan keputusan itu terlebih dahulu kepada orang tua dan kerabat Putri Tailan Nauli, dan sekaligus menggunakan kesempatan itu berpamitan.

Dalam perjalanan menuju hutan tempat tinggal Mata Sopiak, Datu Mangambe dan istrinya Putri Tailan Nauli bertemu dengan seorang gadis. Kesempatan itu tidak disia-siakan Datu Mangambe, lalu ia menyapa gadis itu dengan ramah. Saat mereka bertegur sapa, Datu Mangambe mengajak gadis itu untuk ikut dengan mereka bertemu Mata Sopiak, dan dengan kekuatan supra natural yang ia miliki, Datu Mangambe menaklukkan gadis itu dan gadis itu menurut saja kepada perkataan Datu Mangambe, lalu ikut dengan mereka menuju tempat tinggal Mata Sopiak.
Cukup panjang jalan yang mereka lalui, sehingga mereka harus berhenti berulang-kali untuk sekedar melepas letih. Maklum, kondisi Putri Tailan Nauli yang sedang berbadan dua, memaksa mereka untuk melakukan itu, dan akan melanjutkan perjalanan setelah dirasa tenaga sudah pulih kembali.

Perjalanan jauh yang memberatkan Putri Tailan Nauli, tidak membuat Datu Mangambe berniat untuk menghentikan perjalanan. Perjalan terus dilanjutkan meskipun harus banyak beristirahat setiap istrinya Putri Tailan Nauli mengeluh keletihan. Datu Mangambe memutuskan untuk beristirahat dan begitu seterusnya hingga akhirnya mereka tiba ditengah hutan belantara, dan berjumpa dengan Mata Sopiak.

Putri Tailan Nauli dan gadis yang ikut dengan mereka terkejut bercampur takut melihat wajah Mata Sopiak yang memang sangat menakutkan. Tetapi rasa takut itu kemudian berangsur hilang, melihat Datu Mangambe berpelukan dengan sukacita, lalu bercengkerama dalam suasana yang begitu hangat.

Setelah puas bicara ngalor ngidul, kemudian pembicaraan mereka mengarah kepada pembicaraan pada saat dulu. Datu Mangambe menyebut bahwa kedatangannya adalah untuk menyelesaikan janji yang telah ia ucapkan pada masa silam, agar diantara mereka berdua sebagai sahabat, tidak terjadi tindak penghianatan atas sebuah janji.

Kemudian Datu Mangambe menjelaskan kepada gadis yang ikut dengan mereka, bahwa tujuan perjalanan mereka berjumpa dengan Mata Sopiak, adalah untuk mempertemukan dia dengan Mata Sopiak, dan selanjutnya hidup bersama sebagai pasangan suami istri.

Sekali lagi gadis itu tidak mampu menolak Datu Mangambe, lalu menerima begitu saja Mata Sopiak menjadi suaminya. Memang pada awalnya gadis itu merasa takut dengan tampilan Mata Sopiak, tetapi setelah cukup lama ia memperhatikan Mata Sopiak, gadis itu menilai bahwa dibalik wajahnya yang seram, Mata Sopiak adalah pria yang baik.

Tak terbilang rasa bahagia yang menyelimuti perasaan Mata Sopiak saat itu. Berulangkali ia mengucap terimakasih kepada Datu Mangambe, sambil memeluknya dengan sangat erat. Mata Sopiak melakukan itu sebagai ungkapakan rasa bahagianya. Mata Sopiak menyebut, cacat yang seolah telah membuatnya mati, tetapi Datu Mangambe mengubah dirinya seolah bangkit dari kematian itu. Saat itu, semangat hidup Mata Sopiak menjadi semakin bergairah.

Saking bahagianya, Mata Sopiak memaksa Datu Mangambe dan istrinya Putri Tailan Nauli, supaya ikut bersama Mata Sopiak ke kampung halamannya di Parsambilan. Mata Sopiak sangat berharap agar Datu Mangambe dan istri, turut hadir dalam perayaan peristiwa bahagaia itu. Mata Sopiak merasa kebahagiaannya akan sangat sempurna, jika Datu Mangambe dan istrinya Putri Tailan Nauli bisa hadir.

Untuk tidak mengurangi rasa bahagia yang sedang melanda hati Mata Sopiak, lalu Datu Mangambe menyanggupi permintaan sahabatnya itu, dan bersama-sama bertolak menuju kampung halaman Mata Sopiak. Sepanjang jalan yang dilalui, Mata Sopiak selalu menciptakan rasa takut kepada siapa saja yang berpapasan dengan mereka. Tidak sedikit anak kecil menangis histeris dan yang lainnya lari terbirit-birit saat melihat wajah Mata Sopiak.

Setibanya di kampung halaman Mata Sopiak, seluruh warga kampung terperangah mengetahui Mata Sopiak akan segera menikah. Mereka tidakmenyangka kalau Mata Sopiak mampun mengakhiri masa lajangnya dengan status cacat yang ia sandang. Warga kampung belum menyadari, bahwa peristiwa itu bisa terjadi tidak lepas dari andil Datu Mangambe yang sangat begitu besar.

Akhirnya seluruh masyarakat kampung turut larut berbahagia pada upacara pernikahan Mata Sopiak, yang dilanjutkan dengan acara pesta yang tergolong sangat meriah. Wajar saja perayaan pesta pernikahan itu diselenggarakan dengan sangat meriah, mengingat perkawinan itu dianggap tidak akan pernah terjadi bagi sosok manusia seperti Mata Sopiak.

Sambil menikmati kemeriahan pesta perkawinan Mata Sopiak, Datu Mangambe mengarahkan perhatiannya kepada alam dan lingkungan sekitar kampung. Datu Mangambe begitu tertarik dengan kesuburan tanaman yang tumbuh, sehingga menumbuhkan niat dalam hatinya untuk tinggal di daerah itu.

Setelah upacara dan pesta perkawinan rampung, kemudian Datu Mangambe menyampaikan maksud yang terselip di hatinya kepada Mata Sopiak, untuk diperkenankan tinggal di sekitar Parsambilan kampung halamannya Mata Sopiak, dan Datu Mangambe akan sangat berterima kasih jika Mata Sopiak juga mau memilihkan tempat bagi Datu Mangambe dan istrinya, untuk membuka lahan dan bertani di tempat itu.

Persahabatan yang telah terjalin antar keduanya, membuat Mata Sopiak menyambut dengan senang hati keinginan Datu mangambe untuk tinggal dan hidup di sekitar kampung halamannya di Parsambilan. Untuk mewujudkan keinginan sahabatnya itu, Mata Sopiak kemudian menghantar sahabatnya itu ke lahan yang berada di sebelah matahari terbit, dan Datu Mangambe bersama istrinya Putri Tailan Nauli kemudian tinggal disana. Lahan inilah yang kemudian diketahui bernama Kampung Hite Tano.

Beberapa bulan berselang, setelah Datu Mangambe membuka lahan dan tinggal di Hite Tano, tibalah waktunya Putri Tailan Nauli Boru Simanjuntak untuk melakukan persalinan. Dengan persiapan yang sangat minim, lalu istri Datu Mangambe melahirkan seorang anak laki-laki yang oleh mereka diberi nama Sitanom Bakkar.

Cukup lama Datu Mangambe beserta istri dan anaknya tinggal di Hite Tano. Namun, jiwa petualangannya yang terus tumbuh dan membara, membuatnya tidak bisa berlama-lama tinggal disatu tempat.

Setelah Si Tanom Bakkar tumbuh semakin dewasa, kemudian Datu Mangambe pamit kepada istri dan anaknya untuk pergi lagi bertualang. Semula Putri Tailan Nauli berusaha untuk menahan rencana kepergian itu, tetapi niat Datu Mangambe sudah bulat dan jika ia berencana rasanya tidak mungkin untuk ditunda. Putri Tailan Nauli akhirnya luluh dan pasrah, kemudian mengijinkan Datu Mangambe pergi.

Setelah siap dengan berbagai bekal untuk bepergian, lalu Datu Mangambe berangkat dan bertolak menuju wilayah Parsoburan. Menurut cerita, di wilayah Parsoburan Datu Mangambe menikah dengan seorang wanita keturunan Marga Lumban Gaol.

Kurang jelas jejak keturunan Datu Mangambe di wilayah ini, tetapi tidak sedikit dari penduduk diwilayah ini yang mengaku bahwa mereka adalah keturunan Marga Silaban, namun pada kenyataannya mereka menggunakan marga lain. Ada yang menggunakan Marga Naibaho, Sitindaon dan Sitorus (walahualam).

Tidak lama kemudian ia meninggalkan Parsoburan dan bertolak menuju Tanah Dairi, lalu menikah lagi di Tanah Dairi dengan wanita keturunan Marga Manik, yang diperkirakan keturunannya melebur dan menggunakan Marga Lingga.

Petualangan Datu Mangambe belum juga berhenti, dari Tanah Dairi ia melanjutkan petualangannya ke Tanah Karo, lalu menikah lagi disana. Belum diketahui wanita keturunan marga mana, yang dijadikan istri oleh Datu Mangambe. Namun keturunannya, disebut-sebut melebur dan menggunakan Marga Kaban. Kaban sendiri diperkirakan singkatan dari Karo Silaban (walahualam)

Di usianya yang sudah cukup uzur, Datu Mangambe kemudian berniat melanjutkan perjalanannya dari Tanah Karo menuju kampung halamannya di Silaban Rura. Ia berharap menyelesaikan karya dan hidupnya dengan tenang di tanah yang ia garap sendiri. Namun niat itu tidak pernah kesampaian, lantaran perjalanannya terhenti di Tanah Dairi. Datu Mangambe menghembuskan nafas terakhirnya di hutan Tanah Dairi, sebelum sampai di rumah istrinya Si Boru Manik.

Sementara di Sitapean, Si Boru Manurung istri Datu Mangambe yang ketiga masih terus menunggu kepulangan Datu Mangambe dari Sibuntuon-Porsea. Cukup banyak waktu yang berlalu, tetapi Datu Mangambe tak kunjung pulang jua. Tak sabar menunggu lebih lama, Si Boru Manurung memutuskan menyusul suaminya Datu Mangambe ke Sibuntuon – Porsea. Ia tidak tau, kalau suaminya Datu Mangambe tidak pernah sampai ke Sibuntuon.

Setibanya di Sibuntuon, Si Boru Manurung sangat terkejut, karena kemudian ia dibertahu bahwa Datu Mangambe tidak pernah sampai ke Sibountoan Porsea. Menyadari Datu Mangambe telah berbohong kepadanya, lalu Si Boru Manurung memutuskan untuk tidak kembali lagi ke Sitapean di Silaban Rura. Sampai akhir hayatnya, Si Boru Manurung kemudian menetap bersama kerabatnya di Sibuntuon – Porsea.


  • CATATAN
  • Banyak hal memang membuat pesan yang mau disampaikan tulisan ini, tidak cocok atau tidak sependapat dengan banyak pihak, khususnya para pembaca sekalian. Setelah mendapat informasi dari berbagai pihak, barulah tulisan ini disebar secara luas, setelah melalui berbagai proses penyaringan.Tidak ada data valid, yang bisa dijadikan referensi kecuali berdasarkan cerita yang pada umumnya didapat secara turun temurun.

Demikian tulisan ini kami cukupkan sampai disini. Semoga bermanfaat ... Tuhan Memberkati ... !!!!!

Sekian dan Terimakasih ... SALAM GEMILANG.