Datu Mangambe
adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Ia bersama kakak dan adiknya adalah
putera dari Ompu Raja Dioma-oma, kakaknya Datu Bira dan adiknya Datu Guluan.
Datu Mangambe dan kedua saudaranya lahir dari rahim seorang ibu, yang diketahui
berasal dari anak keturunan Marga (raja) Sinaga dari garis keturunan Ompu
Ratus.
Jika mengikuti silsilah dari garis ayah,
Datu Mangambe dan kedua saudaranya merupakan anak keturunan dari Borsak
Jungjungan Silaban, yang diperanakkan Toga Sihombing. Borsak Jungjungan sendiri
kemudian diketahui melahirkan Ompu Ratus Silaban dan Ompu Ratus melahirkan Ama
Ratus Silaban selanjutnya Ama Ratus Silaban melahirkan Si Ratus Silaban (Ompu Raja Dioma-oma Silaban).
Seturut dengan waktu yang berkembang,
rupanya informasi juga ikut berkembang, seperti yang terjadi pada dua nama
terakhir yaitu Si Ratus Silaban dan Ompu Raja Dioma-oma Silaban oleh sebagian
keturunan Marga Silaban dianggap sebagai orang yang sama. Yang artinya, Si
Ratus Silaban adalah OR Dioma-oma dan sebaliknya OR Dioma-oma adalah orang yang
sama dengan Si Ratus Silaban. Biarlah hal itu berkembang menuju
kesepakatan yang lebih baik, agar kedepan ditemukan pemahaman yang satu tentang
itu. Kali ini tulisan kita fokuskan kepada sejarah tentang Datu Mangambe.
Memasuki usia remaja, Datu Mangambe dan
kedua saudaranya hijrah ke kampung halaman ibunya di Hatoguan Pulau Samosir,
untuk berkonsentrasi pada ilmu yang sedang mereka dalami. Hal itu dilakukan
atas sepengetahuan kedua orang tuanya, dengan tujuan untuk lebih melengkapi
ilmu yang sudah ada dengan harapan ilmu itu menjadi lebih sempurna. Semua itu
mereka lakukan, sebagai upaya untuk melengkapi diri dengan pertahanan, apabila
kelak mereka berhadapan dengan setiap orang yang memiliki niat jahat terhadap
mereka.
Disamping menimba ilmu, Datu mangambe dan
kedua saudaranya juga mendalami adat istiadat, dengan hidup bergaul dan membaur
dengan penduduk setempat, khususnya dengan paman dan sepupunya, yang masih
memiliki hubungan kekerabatan yang sangat erat.
Ditengah pergaulannya dengan masyarakat
setempat, rupanya Datu Mangambe dan kedua saudaranya, masing-masing jatuh hati
kepada perempuan disana. Ia sendiri terpikat kepada seorang perempuan keturunan
Marga (raja) Nainggolan, kakaknya kepincut oleh perempuan keturunan Marga
(raja) Sinaga dan adiknya Datu Guluan jatuh hati kepada perempuan keturunan
Raja (marga) Simbolon.
Tidak terlalu lama berselang, kakaknya Datu
Bira menikah dan menetap di Hatoguan Pulau Samosir. Pernikahan inilah kemudian
menjadi awal dari sebuah bencana, yang kemudian mengakhiri hidup kakak Datu
Mangambe, yang terjadi atas sebuah persekongkolan yang diorganisir oleh
seseorang bersama dengan kerabat dan keluarganya, karena cinta yang tak sampai.
Sejarah cinta segitiga yang dialami kakak
Datu Mangambe, yang kemudian diketahui adalah penyebab kematian Datu Bira dan
istrinya, dapat dibaca pada artikel lain, yang berjudul "Datu
Bira"
Selang beberapa waktu setelah kakandanya
menikah dan melahirkan putera pertama, Datu Mangambe memberitahukan kepada
kedua saudaranya, bahwa ia berkeinginan hendak pulang ke Tipang kampung
halaman mereka. Tentu saja kedua saudaranya bertanya, kenapa tiba-tiba Datu
Mangambe berniat hendak pulang.
Tetapi kemudian kedua saudaranya dengan
penuh suka cita mempersilahkan Datu Mangambe mewujudkan niatnya itu, lantaran
ia bermaksud hendak mempersunting si Boru Nainggolan dan menjadikannya
pendamping hidup. Kemudian Datu Mangambe bertolak ke Tipang kampung halamannya,
dengan membawa serta si Boru Nainggolan untuk dijadikan istri.
Tak berapa lama berselang setelah sampai di
Tipang, perasaan Datu Mangambe sangat tidak tenang. Batinnya bergejolak,
pikirannya tertuju kepada kakandanya Datu Bira. Pirasaatnya berkata, bahwa di
Hatoguan Pulau Samosir sedang terjadi bencana besar yang menimpa kakandanya
itu. Dan pirasaat itu semakin menguat, saat ia mengingat kembali bahwa diantara
kakandanya memang ada konflik dengan seseorang yang juga menginginkan Pinta
Omas (istri kakandanya) untuk dijadikan istri.
Akhinya pirasat itu membuat Datu Mangambe
memutuskan kembali ke Hatoguan Samosir, untuk memastikan benar atau tidaknya
pirasaat yang terus menghantui batinnya. Dengan memutuskan kembali ke Hatoguan,
maka peresmian pernikahan yang sudah direncanakan sejak semula, mau tidak mau
harus dibatalkan, walau sesungguhnya "boras pir sudah disematkan di
simanjujung (kepala) si Boru Nainggolan", yang mengisyaratkan bahwa si
Boru Nainggolan secara adat telah sah menjadi istri Datu Mangambe dan menjadi
bagian (parumaen) dari keluarga besar Borsak Jungjungan Silaban.
Belum juga ia sampai di Hatoguan Samosir,
setengah perjalanan Datu Mangambe bertemu kakandanya tengah sekarat
tergeletak bersimbah darah di tengah jalan di hadapan anak dan istri. Rupanya
Datu Bira dan keluarga kecilnya berusaha hendak pulang ke Tipang setelah ia
mengalami bencana, diserang musuh utamanya di Hatoguan Samosir.
Melihat kondisi kakandanya, Datu Mangambe
menangis meraung-raung, dan menyesalkan mengapa peristiwa itu sampai terjadi
disaat ia tidak berada dekat dengan kakandanya. Sejak awal ia sudah
mengkhawatirkan permusuhan kakandanya dengan seseorang, yang juga ingin
memperistri istri kakandanya. Datu Mangambe sudah memperkirakan, jika
permusuhan itu akan berkembang ketingkat yang membahayakan keselamatan nyawa,
tetapi ia seolah melakukan pembiaran karena ia percaya kepada kemampuan
kakandanya.
Dalam kondisi yang sangat memprihatinkan,
kakandanya menjelaskan bagaimana peristiwa itu sampai terjadi. Dari penuturan
kakandanya, Datu Mangambe kemudian menjadi tau dan sangat menyesalkan perbuatan
adik mereka Datu Guluan, yang ternyata mempunyai andil yang sangat besar, sehingga
bencana itu akhirnya menimpa Datu Bira.
Saat itu gelap gulita, Datu Mangambe
berusaha keras untuk mengevakuasi kakaknya beserta anak dan istri, agar
terlepas dari kejaran musuh. Rupanya untung tak bisa diraih malang tak bisa
ditolak, Datu Bira kakaknya kemudian menyerah. Segala upaya evakuasi yang dia
lakukan, tampaknya akan sia-sia.
Kondisi tubuh Datu Bira semakin
melemah, dan perjalananpun akhirnya berhenti. Situasi itu membuat Datu
Mangambe bertambah khawatir. Dan kekhawatiran itu semakin meningkat, ketika
kakaknya memohon untuk meninggalkan dirinya, dan melanjutkan perjalanan untuk
menyelamatkan anaknya Sakkar Toba dan istrinya Pinta Omas.
Sungguh ia tidak sampai hati meninggalkan
kakaknya sendirian dalam kondisi sekarat seperti itu. Datu Mangambe bersikeras
menggendong kakaknya dan melanjutkan perjalanan. Sekali lagi Datu Bira memohon
kepada Datu Mangambe untuk meninggalkannya sendirian. Kali ini Datu Bira
mengatakan bahwa ia akan berakhir.
Mendengar permohonan kakaknya itu, Datu
Mangambe menangis tersedu-sedu. Dengan perlahan, ia turunkan Datu Bira dari
punggungnya. dan terus menangisi kakaknya itu. Sebelum menghembuskan nafas
terakhirnya, Datu Bira sempat berpesan kepada Datu Mangambe, untuk menjaga
anaknya Sakkar Toba dan istrinya Pinta Omas, serta memohon untuk membawanya ke
tempat yang aman, tempat yang tak mungkin dijangkau musuh yang menginginkan
kebinasaannya.
Dengan bercucuran air mata, Datu Mangambe
mengangkat sumpah, dan berjanji mengasuh Sakkar Toba dan tidak akan menikah
sebelum Sakkar Toba anak kakaknya itu berketurunan. Datu Mangambe sadar dengan
ucapannya itu. Dengan mengangkat sumpah dihadapan kakaknya, ia telah mengambil
resiko, yang akan mengundur waktu pernikahannya dengan si Boru Nainggolan,
hingga waktu yang tidak diketahui sampai kapan.
Ketika Datu Mangambe pamit dan berniat untuk
melanjutkan perjalanan, Putri Pinta Omas Boru Sinaga memutuskan untuk tidak
turut pergi bersama Datu Mangambe. Putri Pinta Omas memilih untuk tinggal
bersama suaminya, karena tidak ada kemampuan dalam dirinya untuk meninggalkan
Datu Bira dalam kondisi seperti itu.
Putri Pinta Omas Boru Sinaga telah
memutuskan, jikapun harus mati ia rela mati bersama suaminya, dan tetap menolak
untuk meninggalkan suaminya Datu Bira, sekeras apapun usaha untuk memintanya
pergi bersama Datu Mangambe.
>>>>>>>
Sebegitu tiba di Tipang, Datu Mangambe
segera memberitahukan kepada kerabatnya, tentang bencana yang telah menimpa
Datu Bira di Hatoguan Samosir. Mendengar semua itu, kerabat Datu Mangambe
menjadi murka. Tetapi Datu Mangambe mengingatkan seluruh kerabatnya agar tetap
mengendalikan diri, sebab keamanan dirinya dan Sakkar Toba jauh lebih penting,
daripada harus membalaskan dendam.
Daripada harus melakukan pembalasan, Datu
Mangambe meminta seluruh kerabatnya untuk tetap waspada, sebagai usaha untuk
bertahan jika kemudian musuh Datu Bira datang mengejar hingga ke Tipang.
Secara khusus kepada kekasihnya Si Boru
Nainggolan, Datu Mangambe memohon pengertian untuk semua yang telah terjadi. Ia
meminta kepada Si Boru Nainggolan agar bersabar dan tetap tinggal di Tipang.
Datu Mangambe bersumpah, setelah Sakkar Toba menikah dan keturunan, Datu
Mangambe akan kembali untuk menikahinya.
Untuk menghindari segala kemungkinan buruk,
Datu Mangambe tidak berlama-lama tinggal di Tipang. Pada saat itu juga setelah
Datu Mangambe menjelaskan semuanya, ia segera berpamitan kepada seluruh
kerabatnya. Ia khawatir, musuh kakaknya sedang dalam perjalanan menuju
Tipang, untuk menemukan Sakkar Toba.
Seiring waktu, Sakkar Toba terus berkembang
dan tumbuh semakin dewasa. Dan menyadari itu, kemudian Datu Mangambe memberi
sinyal kepada Sakkar Toba, supaya segera mengakhiri masa lajang. Datu Mangambe
memiliki alasan yang kuat untuk melakukan itu, sebab ia terikat pada sebuah
wasiat kakaknya, untuk menjaga agar garis keturunan kakaknya Datu Bira terus
tumbuh, berkembang dan berkelanjutan.
Tetapi menerima sinyal untuk segera mencari
pendamping hidup, membuat Sakkar Toba menjadi sungkan. Kesungkanan itu muncul
karena ia tau, Datu Mangambe sendiri sebagai pamannya juga masih hidup
melajang. Datu Mangambe maklum, kalau Sakkar Toba tidak merasa nyaman, ketika
Sakkar Toba disarankan untuk segera menikah. Sementara itu, tabu bagi adat
istiadat setempat jika menikah mendahului orang yang lebih tua, yang masih
memiliki ikatan keluarga.
Datu Mangambe menangkap dan memahami
perubahan yang terjadi pada diri Sakkar Toba, sebagai reaksi atas sinyal yang
ia berikan. Ia tau keponakannya itu merasa sungkan untuk menjawab tawarannya,
karena ia sendiri sebagai paman masih hidup dalam kesendirian. Datu Mangambe
sadar, kalau Sakkar Toba tidak tau persis peristiwa yang telah terjadi dimasa
lalu.
Untuk meyakinkan Sakkar Toba, Datu Mangambe
menjelaskan secara rinci peristiwa yang pernah terjadi terhadap keluarga pada
masa yang telah lalu. Datu Mangambe menceritakan kembali, mengapa mereka berdua
harus tinggal jauh dari sanak saudara. Penting bagi Sakkar Toba untuk
mengetahui, wasiat ayahnya Datu Bira kepada dirinya, agar semuanya menjadi
jelas.
Mendengar penjelasan itu, Sakkar Toba
kemudian mengerti dan untuk menjawab tawaran pamannya, Sakkar Toba segera
berkemas dan mempersiapkan diri, baik moral maupun mental. Ia tidak mau membuat
pamannya kecewa setelah mengetahui begitu besar kasih sayang pamannya kepada
keluarga dan dirinya.
Beberapa tahun berselang setelah melakukan
perjalanan panjang, Sakkar Toba kembali ke kampung halaman. Ia membawa serta
anak dan istrinya, guna diperkenalkan kepada sanak saudara. Terkejut
bercampur bahagia Datu Mangambe melihat Sakkar Toba ada di hadapannya. Sakkar
Toba datang bukan hanya bersama istri, tetapi ia datang juga bersama
anak-anaknya. Kebahagiaan Datu Mangambe tentu sangat beralasan, mengingat
ikrar dengan kakandanya Datu Bira telah terlaksana dengan baik.
Beberapa hari kemudian setelah Sakkar Toba
kembali, Datu Mangambe menyampaikan hasratnya untuk kembali ke Tipang, dengan
maksud menikahi Si Boru Nainggolan yang ia tinggal disana, dan akan segera
kembali ke Silaban Rura setelah upacara pernikahan secara resmi usai.
Rupanya Datu Mangambe telah memutuskan untuk
menetap dan hidup berumah tangga di Silaban Rura. Tidak berapa lama usai resmi
menikahi Si Boru Nainggolan, Datu Mangambe kemudian meninggalkan Tipang dan
kembali menuju Silaban Rura. Ia dan keponakannya Sakkar Toba kemudian sepakat
untuk masing-masing mengusahai lahan yang sudah tersedia.
Selang beberapa tahun setelah Datu Mangambe
menikahi Si Boru Nainggolan secara resmi dan tinggal di Silaban Rura bersama
keponakannya Sakkar Toba, kemudian ia memutuskan untuk melakukan sebuah
perjalanan, dalam upaya mengamalkan ilmu yang ia miliki. Ia bermaksud
memanfaatkan ilmunya di tengah masyarakat, dengan melakukan perjalanan dari
kampung ke kampung.
Sesungguhnya dalam diri Datu Mangambe
berkembang sebuah semangat, yang menempa dirinya menjadi sosok yang lebih suka
berpetualang. Semangat itu terpaksa ia redam, seiring dengan peristiwa yang
telah menimpa saudaranya Datu Bira. Wasiat yang telah ia terima dengan sumpah,
membuatnya harus menahan diri, terhadap semangat berpetualang yang menggelora
dalam dirinya.
Setelah semua itu berlalu, kemudian semangat
itu muncul kembali, dan sulit bagi Datu Mangambe untuk menahan gelora itu.
Untuk hasratnya itu, ia harus menjelaskan semuanya kepada istrinya Si Boru
Nainggolan, lalu meminta kepada istrinya agar diberi ijin.
Sulit bagi siapapun untuk menolak permintaan
Datu Mangambe, jika ia sudah menginginkannya. Jika keinginannya menemukan
rintangan, maka Datu Mangambe akan menggunakan kemampuannya dengan mantera
sesuai dengan kesaktian yang ia miliki.
Kemudian istrinya Si Boru Nainggolan luluh,
dan mengijinkan Datu Mangambe untuk pergi berpetualang, dengan segala resiko
yang akan berdatangan pada dirinya pasca kepergian Datu Mangambe. Setelah
mempersiapkan segala sesuatu untuk mendukung perjalanannya, kemudian
petualanganpun dimulai. Sebagai awal perjalanan, Datu Mangambe mengarahkan
perjalanannya menuju Paranginan.
Tidak terlalu lama bagi Datu Mangambe untuk
bisa diterima masyarakat, disetiap tempat dimana ia singgah. Kemampuannya
memposisikan diri, membuat setiap orang bersimpati kepadanya. Datu Mangambe
adalah sosok yang berkharisma, dan memiliki gaya bicara yang mampu membuat
setiap orang terpesona.
Hal itu juga yang menjadi salah satu faktor
penyebab, mengapa para wanita setempat begitu tertarik kepada Datu Mangambe.
Disamping style, Datu Mangambe juga memiliki paras yang cukup tampan. Wajarlah
jika para perempuan berharap untuk bisa duduk bersanding dan hidup sebagai
istrinya.
Dari sekian perempuan yang menyukainya, Datu
Mangambe memang menaruh hati kepada salah seorang diantaranya. Perempuan
berparas rupawan itu kemudian diketahui berasal dari komunitas (marga)
Sianturi. Seperti biasanya, jika Datu Mangambe sudah berkeinginan, sulit bagi
siapapun untuk menolaknya. Tanpa harus diminta, gadis keturunan raja (boruni
raja) Sianturi itu akhirnya datang sendiri.
Tidak butuh waktu lama bagi Datu Mangambe
untuk meminta persetujuan dari Boru Sianturi, agar bersedia diboyong ke Silaban
Rura kampung halamannya. Pada awalnya Boru Sianturi ragu, dengan status Datu
Mangambe yang telah beristri. Tentu saja Boru Sianturi menolak untuk
dipertemukan dengan istri pertama Datu Mangambe, sebab ia khawatir istri
pertama Datu Mangambe akan bertindak irrasional.
Bukan Datu Mangambe namanya, jika ia tidak
mampu membuat orang lain yakin terhadap dirinya. Dengan berbagai alasan, Datu
Mangambe berusaha untuk membuat Boru Sianturi yakin, bahwa tidak akan terjadi
apa-apa sesaat setelah nanti tiba di Silaban Rura. Dan akhirnya Boru Sianturi
bersedia pergi bersama Datu Mangambe.
Si Boru Nainggolan istri pertama Datu
Mangambe sangat kaget, melihat suaminya datang berdua dengan perempuan dewasa.
Ia tidak mengira jika kepergian Datu Mangambe hanya untuk pulang dengan membawa
serta seorang perempuan yang akan menjadi madunya. Tentu saja Boru Nainggolan
marah dengan apa yang dia lihat.
Datu Mangambe sangat memaklumi kemarahan
istrinya Boru Nainggolan, dengan kehadiran seorang perempuan yang pulang bersamanya.
Apalagi, jika perempuan itu akan dijadikan istri oleh suaminya sendiri. Hal itu
sangat wajar, dan sangat manusiawi.
Melihat kemarahan Boru Nainggolan, lalu Datu
Mangambe mengeluarkan kekuatan ilmunya, dan kemudian membujuk Boru Nainggolan
agar bersedia menerima Boru Sianturi sebagai madunya. Akhirnya Boru Nainggolan
dapat menerima Boru Sianturi, untuk menjadi istri yang kedua bagi Datu
Mangambe. Mereka sepakat untuk saling mengasihi dan berbagi dengan cara yang
adil.
Pada saat Boru Sianturi datang bersama Datu
Mangambe ke Silaban Rura, waktu itu Boru Nainggolan belum juga hamil. Oleh
karena itu, kesepakatan itu kemudian meningkat kearah usaha untuk saling
mendoakan, agar masing-masing diberi rakhmat kehamilan oleh Debata Mula Jadi Na
Bolon (Tuhan Yang Maha Kuasa).
Setelah mendapat persetujuan dari Boru
Nainggolan, Datu Mangambe dan kerabat kemudian membuat perencanaan untuk
menyelenggarakan pesta pernikahannya bersama Boru Sianturi. Dan pesta itu
kemudian berlangsung cukup meriah. Sebagai pertanda bahwa pernikahan antara
Datu Mangambe dengan Boru Sianturi telah dilakukan secara resmi, maka kerabat
Datu Mangambe mengirim utusan ke kerabat Boru Sianturi istrinya, untuk
memberitahukan bahwa ia dengan boru Sianturi telah resmi menikah.
Tak lama berselang, beberapa bulan setelah
pernikahannya dengan Datu Mangambe, kemudian Boru Sianturi hamil. Seiring
dengan berjalannya waktu, saat untuk Boru Sianturi melakukan persalinanpun
tiba. Segala persiapan untuk menyambut kelahiran seorang anak segera dilakukan,
dan waktu yang dinantipun tiba, lahirlah seorang anak laki-laki lalu diberi
nama Raja Itoba.
Mendengar informasi Boru Sianturi telah
berhasil dalam persalinannya, tak terkira senangnya hati Boru Nainggolan.
Sukacita itu semakin lengkap ketika ia ketahui Boru Sianturi madunya,
melahirkan seorang anak laki-laki. Kegembiraan yang meluap dari hati Boru
Nainggolan atas peristiwa itu, muncul dari percaya dirinya bahwa setelah itu ia
juga akan mendapat anugerah yang sama, seperti apa yang telah mereka ucapkan sebagai
wujud saling mendoakan, pada saat ia menerima Boru Sianturi sebagai madunya,
dan menjadi istri yang kedua bagi suaminya Datu Mangambe.
Kepercayaan Boru Nainggolan untuk segera
mendapatkan momongan pasca persalinan Boru Sianturi akhirnya menjadi kenyataan.
Doa yang ia panjatkan dan didukung oleh Boru Sianturi, oleh Sang Dewata
kemudian dikabulkan. Boru Nainggolan dinyatakan hamil, dan beberapa bulan
setelah itu, iapun melahirkan pula seorang anak laki-laki yang kemudian dikenal
dengan nama Tunggul Bauta.
Semangat berpetualang yang telah menjadi bagian dari hidup Datu Mangambe terus
menggelora. Hal itu kemudian menumbuhkan niat baru, untuk melakukan petualangan
baru. Niat itu kemudian disampaikan kepada kedua istrinya, lalu dibicarakan
bersama dengan anak-anaknya. Tentu saja hal itu di respon dingin oleh kedua
istrinya, karena mereka tau jika Datu Mangambe telah berkeinginan, maka hal itu
harus terjadi, tak mungkin hal itu bisa ditunda. Lalu kedua istri dan
anak-anaknya menyerahkan kembali kepada Datu Mangambe untuk memutuskan sendiri.
Kali ini Datu Mangambe mengarahkan perjalanannya ke sebelah utara, hingga
sampai pada sebuah tempat yang diketahui bernama Sibuntuon-Porsea. Seperti
biasa, di tempat itu Datu Mangambe segera mendapat tempat di hati masyarakat,
berkat kepiawaiannya dalam bertutur kata, dan didukung kepribadiannya yang
berkharisma.
Bukan hanya masyarakat umum saja yang tertarik kepada figur Datu Mangambe.
Bahkan penguasa daerah setempat juga menjadi simpatisan Datu Mangambe. Karena
simpatinya, penguasa daerah setempat yang berasal dari keturunan raja (marga)
Manurung, tertarik untuk menjadikan Datu Mangambe sebagai menantu. Dan jadilah
seperti itu, sebab setelah itu salah seorang dari putri raja Manurung akhirnya
diperistri Datu Mangambe.
Sekalipun Datu Mangambe memiliki kemampuan ilmu berada di atas rata-rata, ia
tidaklah arogan karenanya. Hal itu dapat diketahui, dengan begitu baiknya
relasi Datu Mangambe dengan masyarakat Sibuntuon secara khusus dan masyarakat
Porsea secara umum. Jika ia arogan, tentu hubungannya dengan masyarakat sudah
pasti akan terganggu. Dia selalu menjadi idola, bagi siapapun yang pernah
melakukan pembicaraan langsung dengannya.
Kabar tentang Datu Mangambe tersebar sampai kemana-mana. Kepintarannya,
kesaktiannya dan kemampuannya yang berada diatas rata-rata, tersebar dari mulut
ke mulut hingga ke berbagai daerah. Sehingga, harus berpikir dua kali bagi
musuh, untuk menyerang Sibuntuon, karena mereka tau, Datu Mangambe telah
menjadi menantu bagi Sibuntuon.
Beberapa bulan setelah pernikahannya dengan Datu Mangambe, lalu si boru
Manurung hamil tak lama setelah itu ia melahirkan seorang anak laki-laki yang
diberi nama Ulu Balang Tampak. Setelahnya, beberapa tahun
kemudian lahir pula tiga orang anak perempuan, adik bagi Ulu Balang Tampak.
Cukup lama Datu Mangambe tinggal di Sibuntuon-Porsea. Ia tinggal disana bersama
anak-anaknya dan istrinya si Boru Manurung. Kerinduannya terhadap kampung
halaman dan kedua istri bersama anak-anaknya, kemudian menimbulkan keinginannya
untuk pulang ke Silaban Rura. Di dalam hatinya, Datu Mangambe ingin cepat-cepat
berjumpa dengan kedua anaknya Raja Itoba dan Tunggul Bauta.
Keinginan untuk kembali ke Silaban Rura, oleh Datu Mangambe kemudian diutarakan
kepada istrinya, kepada mertuanya dan kepada seluruh kerabat di
Sibuntuon-Porsea. Semula ada penolakan dari istri dan ayah mertuanya, tetapi
ijin itu akhirnya ia dapatkan setelah Datu Mangambe memberikan penjelasan,
mengapa ia harus kembali ke Silaban Rura.
Ulu Balang Tampak dan ketiga adik perempuannya sudah tumbuh dewasa saat mereka
dan ibunya si Boru Manurung diboyong ke Silaban Rura oleh Datu
Mangambe. Berbeda dengan si Boru Manurung yang pikirannya bergejolak karena
khawatir dengan apa yang akan terjadi sesampainya di Silaban Rura, Ulu Balang
Tampak dan ketiga adik perempuannya justru pikirannya bergejolak oleh rasa
sukacita, karena akan berjumpa dengan sanak saudara, khususnya dengan dua
saudara mereka yang tinggal di Silaban Rura.
Setelah melakukan perjalanan panjang, akhirnya Datu Mangambe beserta keempat
anak dan istri ketiganya si Boru Manurung tiba di Silaban Rura. Datu Mangambe
disambut kedua anaknya, mereka berpelukan saling melepas rindu. Pun Raja Itoba,
Tunggul Bauta, Ulu Balang Tampak dan ketiga adik perempuan mereka, juga ikut
berpelukan setelah mereka saling memperkenalkan diri. Mereka sadar, bahwa
mereka adalah saudara walau lahir dari rahim yang berbeda.
Kedua istri Datu Mangambe yang ditinggal di Silaban Rura, si Boru Nainggolan
dan si Boru Sianturi, sudah menduga bahwa Datu Mangambe akan pulang dengan
membawa istri baru, seperti yang terjadi pada waktu sebelum-belumnya. Datu
Mangambe juga menyadari, tidak mudah bagi si Boru Nainggolan dan si Boru
Sianturi menerima situasi itu. Tetapi Datu Mangambe meyakinkan kedua istrinya
dengan berbagai alasan, dan seperti biasanya selalu berakhir dengan baik dan
situasipun menjadi tenteram.
Walau pasca kepulangannya dengan membawa si Boru Manurung istri ketiganya tidak
menimbulkan kekacauan, tetapi ia telah berpikir jauh ke depan. Ia berpikir,
jika ketiga istrinya tinggal pada tempat yang berdekatan, ia khawatir suatu
saat nanti akan terjadi konflik diantara mereka, bahkan antara anak-anaknyapun,
sangat dimungkin akan terjadi perselisihan.
Oleh karena itu, Datu Mangambe kemudian berencana membuka lahan dan pemukiman
baru, tempat untuk tinggal bagi istrinya si Boru Manurung dan keempat anaknya.
Agar apa yang dia khawatirkan tentang konflik diantara para istrinya itu tidak
terjadi.
Rupanya Datu Mangambe menjadikan rencana itu sebagai program utama, diatas
semua program yang hendak ia kerjakan. Sambil berjalan, pikiran Datu Mangambe
terus berkelana, berusaha menemukan tempat. Cukup jauh Datu Mangambe berkelana,
dan kemudian berhenti pada sebuah tempat, jauh dari pemukiman dimana si Boru
Nainggolan dan si Boru Sianturi tinggal.
Esok harinya Datu Mangambe menuju tempat yang ia lihat dari kejauhan dan
menelusuri lereng hingga tiba pada puncak sebuah bukit. Dari situ ia melepaskan
pandangan selepas mata memandang, dan ia tersenyum karena ia menemukan apa yang
ia cari, yaitu sebuah lembah yang baik untuk diolah menjadi lahan pertanian.
Dan di dekat situ matanya menemukan pula hamparan tanah datar yang sangat
memungkinkan untuk dijadikan tempat tinggal.
Datu Mangambe sangat bersuka cita atas penemuannya itu. Dengan penemuan lahan
baru itu, masalah yang membebani pikirannya akhirnya menemukan solusi. Paling
tidak, dengan jarak tempat tinggal yang relatif jauh, kemungkinan untuk terjadi
konflik sangatlah kecil.
Ditemukannya lahan baru itu kemudian diberitahukan kepada si Boru Manurung
istri ketiga Datu Mangambe, sekaligus mengajak untuk tinggal menetap di sana.
Si Boru Manurung dapat membaca jalan pikiran suaminya dengan cepat. Si Boru
Manurung tau persis tujuan Datu Mangambe dibalik informasi yang ia terima.
Si Boru Manurung merasa tidak perlu mendebat rencana Datu Mangambe untuk
tinggal di lahan yang baru saja ditemukan, karena ia tau semua itu dilakukan
untuk menghindar dari konflik yang sangat mungkin terjadi, antara dia dan kedua
istri tua suaminya. Oleh karena itu si Boru Manurung kemudian menyetujui ajakan
Datu Mangambe untuk tinggal di lahan yang baru saja ditemukan.
Saat hari masih pagi sekali, Datu Mangambe
dan istri ketiganya si Boru Manurung beserta keempat anaknya, tiba dilahan yang
dituju. Tidak menunggu lama, Datu Mangambe dibantu si Boru Manurung dan keempat
anaknya segera mempersiapkan lahan, kemudian mendirikan bangunan rumah yang
sangat sederhana, tempat mereka untuk tinggal.
Walau dengan wujud yang sangat sederhana, Datu Mangambe dan istrinya si Boru
Manurung berserta anak-anak mereka, kemudian tinggal di rumah yang baru saja
selesai didirikan, dan sudah diputuskan untuk tinggal dan menetap disana,
kemudian mereka sebut tempat itu dengan nama Sitapean, karena
memang tempat itu persis berada di tepi rawa-rawa (dalam bahasa Batak Toba
disebut "pea")
Setelah semua kelengkapan untuk hidup ke depan sudah tersedia bagi istrinya si
Boru Manurung dan keempat anaknya, Datu Mangambe kemudian mengatur strategi
untuk rencana melanjutkan petualangannya. Pada sebuah kesempatan, Datu Mangambe
mengutarakan niatnya itu kepada anak dan istrinya si Boru Manurung.
Si Boru Manurung istri Datu Mangambe beserta keempat anaknya menyarankan agar
Datu Mangambe tidak perlu lagi melakukan petualangan mengingat usia Datu
Mangambe sudah tidak muda lagi. Tetapi sulit bagi Datu Mangambe untuk mundur
dari sebuah rencana yang sudah menjadi keinginannya. Si Boru Manurung dan
keempat anaknya akhirnya menyerahkan keputusan kepada Datu Mangambe. Walau
sekedar untuk tinggal lebih lama lagi, si Boru Manurung dan keempat anaknya tak
mampu menahan Datu Mangambe.
Setelah meluluhkan hati istri dan keempat anaknya, kemudian Datu Mangambe
memantapkan niatnya untuk melangkah dan pergi meninggalkan keempat anaknya
bersama istrinya si Boru Manurung di Kampung Sitapean.
Usai mendapatkan ijin dari istrinya si Boru Manurung, kemudian Datu Mangambe
mendatangi istrinya si Boru Nainggolan dan si Boru Sianturi di Silaban
Rura, untuk mendapatkan ijin seperti yang ia sudah dapatkan dari si Boru
Manurung. Si Boru Nainggolan sebagai istri tertua mendapat kesempatan pertama
untuk ia datangi, lalu mengutarakan niatnya untuk melanjutkan petualangan.
Tetapi si Boru Nainggolan yang telah menyimpan rasa tidak suka atas perkawinan
Datu Mangambe dengan si Boru Manurung, lalu menanggapi niat dan kehadiran Datu
Mangambe dengan sikap yang sangat dingin.
Menyadari si Boru Nainggolan bersikap sangat dingin, kemudian Datu Mangambe
mengatur siasat dengan merayu si Boru Nainggolan, dengan bisa menundukkan hati
istri tertuanya itu. Tetapi si Boru Nainggolan tidak termakan rayuan, malah
semakin marah dan menyerang Datu Mangambe.
Awalnya Datu Mangambe menanggapi situasi itu sebagai hal yang biasa saja, namun
ia melihat si Boru Nainggolan ternyata cukup serius. Si Boru Nainggolan telah
berani bertindak lebih jauh, dengan merampas pisau yang terselip di pinggang
Datu Mangambe, lalu menyerang Datu Mangambe.
Melihat si Boru Nainggolan semakin marah tak terkendali, Datu Mangambe
memutuskan untuk pergi dari situ. Rupanya pintu rumah sudah tertutup dengan
rapat, sehingga untuk melepaskan diri dari kejaran si Boru Nainggolan ia harus
melompat dari jendela, dan pergi menjauh meninggalkan amarah yang telah
menguasai pikiran si Boru Nainggolan.
Lepas dari amarah si Boru Nainggolan, bukan berarti Datu Mangambe bisa bernafas
dengan lega. Peristiwa itu malah semakin membebani pikirannya, apalagi si Boru
Nainggolan berteriak melontarkan ancaman saat Datu Mangambe pergi meninggalkan
dirinya dalam kemarahan. Si Boru Nainggolan mengatakan bahwa konflik itu tidak
akan berhenti sampai disitu, dan akan memberitahukan peristiwa itu kepada
kerabatnya di Hatoguan-Samosir.
Ancaman si Boru Nainggolan itu rupanya mampu membuat pikiran Datu Mangambe
menjadi gundah. Jika hal itu sungguh-sungguh terjadi, maka permasalahan itu
bisa meningkat menjadi konflik yang berkepanjangan.
Untuk menghindari konflik yang lebih besar, Datu Mangambe memutuskan untuk
segera pergi mewujudkan rencananya, karena ia berpikir tidak baik juga untuk
berperang melawan pihak hula-hula (orang tua dan kerabat istri), yang oleh Datu
Mangambe adalah golongan yang sangat ia hormati.
Kali ini Datu Mangambe melangkah menuju arah matahari terbit sebagai arah
perjalanannya. Dengan mengambil rute itu, maka ia akan melalui Kampung Sitapean
tempat dimana ia memposisikan istrinya Boru Manurung dan anaknya Ulubalang
Tampak beserta ketiga anak perempuan mereka.
Pada kesempatan itu, Datu Mangambe menjelaskan kepada Boru Manurung peristiwa
yang terjadi di Silaban Rura, antara dirinya dengan Boru Nainggolan, termasuk
ancaman yang ditujukan kepada dirinya. Ia berpesan kepada Boru Manurung dan
keempat anaknya, agar tidak melayani sikap emosional Boru Nainggolan, jika ia
mencari Datu Mangambe sampai ke Sitapean.
Datu Mangambe menambahkan, bahwa ia akan pergi untuk bertemu dengan orang tua
dan kerabat Boru Manurung di Sibuntuon - Porsea. Maka jika kerabat Boru
Nainggolan terbukti datang mencari dirinya ke Sitapean, Datu Mangambe berpesan,
agar istri dan anaknya itu cukup menjawab tidak tau, karena Datu Mangambe pergi
mengikuti langkahnya, yang tidak tentu kemana arahnya.
Kemudian Datu Mangambe pamit pergi, dengan meninggalkan berbagai pesan untuk
Boru Manurung dan anak-anak, sebagai bekal dalam menghadapi kemungkinan
berbagai rintangan, selama Datu Mangambe jauh dari mereka.
Menembus hutan menyeberang sungai, demikian suasana perjalanan Datu
mangambe. Sekalipun naik gunung lalu turun lagi menuju lembah, hal itu tidak
membuat Datu Mangambe mengurungkan niat untuk menghentikan petualangan itu. Ia
terus berjalan hingga sampai pada sebuah tempat, dimana dia mendengar suara dan
alunan alat musik sedang dimainkan.
Suara alat musik itu memberitahukan kepada Datu Mangambe bahwa di sekitar
tempat dimana ia berdiri sudah sangat dekat pemukiman warga, dan suara alat
musik itu adalah pertanda bahwa disana sedang berlangsung Pesta Bolon (perayaan
akbar), pesta yang hanya bisa digelar orleh mereka yang berkemampuan secara
ekonomi.
Dan dari alunan musik yang dimainkan, Datu Mangambe memastikan bahwa pesta itu
adalah pesta sukacita. Dari nada suara yang terdengar, alunan musik itu juga
menggambarkan suasana hati tuan rumah yang tengah merasakan kegembiraan, yang
diungkapkan dalam bentuk perayaan pesta pada tingkat kemewahan yang sangat
tinggi.
Tidak terlalu lama, akhirnya Datu Mangambe tiba di pemukiman warga, tempat
dimana pesta akbar itu sedang berlangsung. Tiba di tempat, Datu Mangambe
bukannya langsung masuk ke lokasi pesta, tetapi ia malah mencari tempat di
gerbang utama jalan masuk ke kampung, untuk bisa duduk dengan santai.
Duduk santai bukan berarti sekedar duduk, tetapi Datu Mangambe duduk dengan
mengambil sikap bagaimana seorang pertapa. Dalam duduknya Datu Mangambe
membacakan sebuah mantra, yang isingya adalah perintah agar suara musik itu
tidak terdengar oleh siapapun, kecuali dirinya. Dan berkat ilmu sakti yang ia
miliki, Datu mangambe berhasil membuat alat musik itu tidak bersuara, sekalipun
ditiup atau dipukul dengan sangat keras.
Mengetahui musik yang dimainkan tidak
mengeluarkan suara, maka hadirinpun menjadi heran, mengapa hal itu bisa
terjadi. Yang tak kalah heran pada peristiwa itu adalah para personil yang
memainkan alat musik, sebab sekeras apapun mereka memainkannya, tetap saja alat
musik tidak mengeluarkan suara.
Rupanya tuan rumah yang menggelar pesta
akbar pada saat itu adalah Raja Datu Silo Nabolon, salah seorang keturunan dari
raja (marga) Simanuntak, yang menjadi penguasa di daerah itu. Menyadari sedang
terjadi permainan ilmu sakti, kemudian sang penguasa Datu Silo Nabolon
bangkit dari tempat dimana ia duduk.
Raja Datu Silo Nabolon kemudian angkat
bicara, dan memohon kepada seluruh hadirin baik Kaum Berilmu (sakti) maupun
Kaum Awam (masyarakat biasa) agar membersihkan hati dan pikiran mereka dari
segala keinginan jahat, agar setiap orang yang turut dalam pesta dapat
merasakan sukacita.
Mendengar Datu Silo Nabolon berujar,
kemudian semua hadirin melakukan usaha dengan cara masing-masing, agar
peralatan musik yang dimainkan dapat mengeluarkan suara. Tetapi tetap saja
peralatan musik tidak mengeluarkan suaranya, sekeras apapun alat musik itu
ditiup dan dipukul.
Semua yang hadir tidak mempu berbuat banyak dan
usaha keras mereka berakhir sia-sia. Tentu saja para hadirin tak mampu berbuat
banyak, sebab kekuatan ilmu yang Datu Mangambe miliki, tak satupun mampu
menandingi. Raja Datu Silo Nabolon sebagai tuan rumah, akhirnya mengeluarkan
sebuah keputusan penting.
Hal itu diambil lantaran Datu Silo Nabolon sadar,
bahwa sedang terjadi permainan ilmu tingkat tinggi, sehingga dirasa perlu untuk
mengambil sebuah keputusan penting, agar pesta bolon yang telah direncanakan
sejak lama, tidak berhenti begitu saja. Datu Silo Nabolon tidak mau, pesta yang
dirancang sedemikian rupa dengan biaya yang cukup besar, kemudian berakhir
dengan sia-sia.
Tuan rumah yang juga adalah penguasa daerah,
kemudian meminta kepada salah seorang pesuruhnya, untuk mengambil peralatan
menulis dan segera membuat pernyataan penting secara tertulis, yang isinya ; “Barang siapa mampu membuat peralatan musik itu bisa bersuara seperti
sediakala, jika ia adalah pria maka akan saya nikahkan dengan putri kesayangan
saya, Putri TALIAN NAULI, tetapi jika ia seorang wanita, maka akan saya berikan
kepadanya sebagain daripada harta kekayaan saya”
Kemudian pernyataan tertulis itu dibacakan
dihadapan kahalayak ramai, dengan harapan segera muncul satu dari antara
hadirin, sebagai dewa penolong bagi tuan rumah, agar pesta bolon itu dapat
dilanjutkan kembali. Tetapi tungu punya tunggu, tak seorangpun yang muncul dan
mampu menyelesaikan persoalan yang tengah dihadapi Sang Tuan Rumah.
Tidak berhenti disitu, kemudian Datu Silo Nabolon
mengutus beberapa orang pengawalnya, untuk berkeliling mendatangi
kampung-kampung sekitar, guna menginformasikan pernyataan tertulis Sang
Penguasa, sebagai upaya untuk mengakhiri persoalan yang sedang dia alami. Tak
menunggu lama, kemudian para pengawalnya segera pergi untuk melaksanakan
perintah Datu Silo Nabolon.
Belum juga keluar dari pintu gapura kampung, para
pengawal Datu Silo Nabolon melihat seorang pria paruh baya tengah duduk persis
di depan gapura. Kemudian mereka saling sapa sebagai interaksi antara pengawal
Datu Silo Nabolon dengan pria paruh baya yang tak lain adalah Datu mangambe,
yang kemudian bertanya; “Apa yang terjadi”
Tak pikir panjang, para pengawal Datu Silo Nabolon
menjawab pertanyaan Datu Mangambe dengan menjelaskan masalah yang telah
terjadi. Mendengar penjelasan yang sudah ia ketahui, membuat Datu Mangambe
merasa geli sendiri. Namun ia memberikan respon yang baik kepada para pengawal,
dan meminta mereka untuk kembali lagi ke pesta akbar itu, sebab alat musik
sudah bisa mengeluarkan suara sperti sedia kala.
Para pengawal Datu Silo Nabolon kemudian kembali,
dan melaporkan hasil pembicaraannya dengan Datu Mangambe. Mendengar laporan
para pengawalnya, lalu tuan rumah meminta para pemain musik untuk melanjutkan
aksinya. Benar saja, suara alat musik kemudian terdengar dan mengalun dengan
sangat indah.
Tetapi hal itu tidak berlangsung lama, sebab suara
musik yang sudah terdengar segera hilang kembali, dan seperti sebelumnya
sekeras apapun para pemain memukul atau meniup alat musik mereka, suara tetap
saja tidak terdengar. Kemudian para pengawal segera menemui Datu mangambe, dan
olehnya disuruh kembali ke pesta dan musikpun mengalun kembali.
Kejadian yang sama terulang hingga tiga kali,
sampai kemudian untuk keempat kalinya, Datu Silo Nabolon memerintahkan para
pengawalnya untuk membawa serta Datu Mangambe, agar Datu Silo Nabolon berbicara
secara langsung, sekaligus ingin mengenal dan mengetahui secara langsung, apa
yang menjadi keinginan pria paruh baya itu.
Saat bertemu, Datu Silo Nabolon menyapa kemudian
bertanya siapa dan darimana Datu Mangambe berasal. Datu Mangambe menjawab tuan
rumah dengan santun, dan memperkenalkan dirinya dengan rinci. Khusus untuk Datu
mangambe, sang penguasa mengulangi pernyataan tertulisnya dengan membacakan
kembali pernyataan itu di hadapan Datu Mangambe
Menyikapi pernyataan tertulis Datu Silo Nabolon
yang secara khusus dibacakan sendiri untuknya, Datu Mangambe kemudian
menanggapi pernyataan itu dengan menerima tantangan yang ditawarkan. Tetapi
sebelum itu ia lakukan, Datu Mangambe meminta agar sang putri yang
disayembarakan, terlebih dahulu menyediakan makanan khusus yang sungguh disukai
Datu Mangambe.
Untuk permintaan Datu mangambe itu, Datu Silo
Nabolon segera memerintah salah seorang pengawalnya untuk memanggil sang putri,
agar Datu Mangambe menyampaikan secara langsung, apa yang hendak dipersiapkan
untuk dihidangkan.
Tak lama berselang, putri penguasa itu kemudian
muncul di hadapan Datu mangambe, dan keduanya tampak terlibat adu pandang, lalu
melahirkan sinar positif di wajah mereka berdua pertanda Putri Talian Nauli dan
Datu Mangambe saling menyukai. Pertanda itu semakin diperkuat lewat ucapan sang
putri, bahwa ia telah mempersiapkan makanan kesukaan Datu Mangambe sebelum pria
paruh baya itu memberitahunya, karena sebelumnya hal itu telah diberitahukan
lewat mimpi.
Mendengar ucapan putrinya, Datu Silo Nabolon
memerintahkan untuk mengambil dan segera dihidangkan ke hadapan Datu Mangambe.
Putri Tailan Nauli segera menghidangkan Itak (beras tumbuk yang dikepal bersama gula dan kelapa parut) makanan
kesenangan Datu Mangambe.
Datu Mangambe menerima pemberian Putri Tailan Nauli
dengan senang hati, dan menikmatinya dengan rasa cinta. Usai itu, Datu Mangambe
mempersilahkan para pemain musik untuk beraksi kembali, lalu hadirin kembali
masuk kedalam suasana sukacita, semua bergembira dibuai alunan musik,
bersenang-senang hingga ke penghujung acara.
Hari berikut sebelum pukul dua belas siang, Datu
Mangambe minta ijin untuk bertemu dengan Datu Silo Nabolon. Saat bertemu, Datu
Mangambe bertanya perihal pertanyataan tertulis yang dibacakan sehari
sebelumnya, dan tantangan yang diberikan sudah dikerjakan dan berakhir dengan baik.
Walau Datu Silo Nabolon menyanggupi dan akan
memenuhi janjinya kepada Datu Mangambe, tetapi jauh dalam lubuk hati Datu Silo
Nabolon tidak rela putri kesayangannya dipersunting pria yang telah berumur,
pria paruh baya. Datu Silo Nabolon tidak legowo jika putrinya yang tergolong
masih muda belia harus diperistri oleh seorang pria setengah tua.
Untuk mewujudkan niat itu, Datu Silo Nabolon
meminta sinamot (mahar) sebagai persyaratan
yang harus dipenuhi Datu Mangambe, dan semua persyaratan yang harus dilengkapi
Datu Mangambe adalah persyaratan yang mustahil dapat dipenuhi orang biasa.
Sebagai persyaratan untuk menikahi putrinya, Datu
Silo Nabolon meminta seekor gajah kepada Datu Mangambe sebagai sinamot, dengan
pesta bolon (akbar) selama tiga hari tiga malam secara berturut-turut sebagai
wujud syukur atas upacara pernikahan. Datu Silo Nabolon menambahkan
persyaratan, untuk makan selama pesta harus menghidangkan makanan dengan daging
rusa sebagai lauknya.
Sedikitpun Datu Mangambe tidak merasa keberatan dengan
persyaratan yang ditawarkan Datu Silo Nabolon kepadanya. Tanpa berpikir lebih
lama, Datu Mangambe segera menjawab tantangan Datu Silo Nabolon, bahwa seluruh
persyaratan yang dipinta Datu Silo Nabolon, besoknya dipagi hari seluruhnya
sudah ada.
Mendengar kesiapan Datu Mangambe untuk memenuhi
seluruh pesyaratan yang diminta, Datu Silo Nabolon menjadi heran bercampur
bingung. Tentu saja bingung, sebab persyaratan itu tergolong kepada persyaratan
yang tidak mungkin bisa dipenuhi. Jika Datu Mangambe mampu memenuhi persyaratan
yang diminta, dengan demikian Datu Mangambe adalah salah satu dari orang yang
dikategorikan bukan sembarang orang.
Demikian Datu Silo Nabolon berpikir tentang Datu
mangambe, dan ia mulai menempatkan Datu Mangambe di hatinya, sebagai sosok yang
patut untuk diperhitungkan. Padahal Datu Silo Nabolon membuat persyaratan yang
mustahil, agar Putri Tailan Nauli gagal menikah dengan pria setengah tua itu,
pria yang tak lain adalah Datu Mangambe.
Datu Mangambe kemudian bertolak menuju hutan belantara,
untuk mencari gajah dan rusa guna memenuhi persyaratan yang diajukan Datu Silo
Nabolon, agar jalan untuk menikahi Putri Tailan nauli terbuka luas baginya.
Betapa ia jatuh hati kepada sang putri, saat mata mereka berdua sempat saling
adu tatap pada pandang yang pertama.
Hari sudah sore, saat Datu Mangambe tiba di hutan.
Kemudian ia mencari tempat yang memungkinkan bagi dirinya untuk duduk dengan
baik. Setelah ia menemukan tempat yang tepat, Datu Mangambe kemudian duduk
dengan mengambil sikap sebagaimana orang hendak bertapa, lalu membaca mantera.
Tidak berapa lama setelah duduk dan membaca mantera, kemudian segerombol rusa
muda datang menghampiri Datu Mangambe, lalu berdiri di sekelilingnya.
Kemudian oleh Datu Mangambe, rusa-rusa itu digiring
menuju mata air dan diperintahkan untuk diam dan tinggal disana. Lalu seluruh
rusa itu diam mengelilingi sumber air itu, dan tidak bisa pergi kemana-mana.
Kemampuan Datu Mangambe yang memiliki ilmu sakti, memungkinkan ia untuk membuat
seluruh rusa dan isi hutan itu menurut kepadanya.
Setelah ia rasa rusa yang ia kumpulkan cukup, kali
ini Datu Mangambe mulai berpikir keras, bagaimana dan darimana ia bisa
menemukan gajah. Datu Mangambe mencoba
mengikuti aliran air tempat ia mengumpulkan
rusa-rusa tangkapannya, jauh sampai ke tengah hutan.
Ditepi hutan di tepi sungai, ia berjumpa dengan
seseorang yang memiliki rupa sangat menakutkan. Tanpa basa-basi tidak ada
saling sapa, makhluk itu langsung menyerang Datu Mangambe. Mereka terlibat
perkelahian seru dan berlangsung hingga tengah malam, dan tak satupun dari
mereka yang bisa menaklukkan lawan.
Keduanya menyadari, bahwa perkelahian mereka tidak
akan berakhir, maka mereka sepakat untuk berhenti dan tidak melanjutkan lagi
perkelahian itu. Lalu keduanya berkenalan, dan sosok menakutkan itu rupanya
bernama Mata Sopiak, salah satu pria anak keturunan dari raja (marga) Sitorus.
Mengetahui waktu mulai mendekati pagi, Datu
Mangambe kemudian memberitahukan kepada Mata Sopiak, tujuan perjalanannya
hingga sampai ke tengah hutan belantara itu, dan sekaligus meminta bantuan Mata
Sopiak untuk menghadirkan seekor gajah yang gagah dan besar, untuk ia
persembahkan kepada Datu Silo Nabolon sebagai sinamot (mahar) untuk menikahi
putrinya.
Mata Sopiak bersedia membantu Datu Mangambe tetapi
dengan syarat, jika gajah yang dibutuhkan telah didatangkan, Datu Mangambe
harus mencarikan seorang wanita untuk dijadikan istri oleh Mata Sopiak. Datu
Mangambe sama sekali tidak keberatan dengan persyaratan yang ditawarkan. Jika
Mata Sopiak dapat mendatangkan gajah yang dibutuhkan, maka Datu Mangambe juga
akan memenuhi permintaan Mata Sopiak.
Setelah sepakat dengan persyaratan masing-masing,
kemudian Mata Sopiak bersiul dan tak lama setelahnya datanglah seekor gajah
yang gagah dan besar menghampiri mereka, lalu Mata Sopiak meminta agar Datu
Mangambe menungganginya dan segera pergi ke kampung Datu Silo Nabolon di Lumban
Sigala-gala – Balige, mengingat fajar telah menyingsing pertanda pagi akan
tiba.
Kemudian Datu Mangambe pamit pergi setelah sebelumnya
berkata kepada Mata Sopiak sahabat barunya itu, agar tidak khawatir tentang
janjinya karena setelah urusan Datu Mangambe usai, ia pasti akan menepati
janjinya dengan membawa seorang wanita untuk dijadikan istri oleh Mata Sopiak.
Masih sangat pagi, matahari belum bangkit dari
peraduannya Datu Mangambe telah tiba di perkampungan Datu Silo Nabolon, dengan
membawa serta sekawanan rusa dan seekor
gajah sesuai dengan permintaan Datu Silo Nabolon. Seluruh rusa oleh Datu
Mangambe dimasukkan ke kandang ternak yang kebetulan kosong, persis dibawah
rumah Datu Silo Nabolon, hingga kandang itu penuh sesak dengan rusa. Sementara
itu, gajah diikat disalah satu tiang yang terpancang di tengah halaman.
Pagi-pagi saat matahari mulai muncul di ufuk timur,
Datu Mangambe segera mendatangi Datu Silo Nabolon, memberitahukan bahwa
persyaratan yang diminta, telah didatangkan lengkap sesuai dengan permintaan
Datu Silo Nabolon. Menyadari semua permintaan telah terpenuhi, Datu Silo
Nabolon mulai mengagumi Datu Mangambe sebagai seseorang yang memiliki kemampuan
secara khusus.
Melihat gajah yang begitu besar, timbul rasa takut
dalam hati Datu Silo Nabolon, ia khawatir jika gajah itu mengamuk bisa-bisa
seluruh isi kampung akan porak poranda. Untuk itu Datu Silo Nabolon miminta
agar Datu Mangambe memindahkan gajah itu, ke padang rumput yang ada di luar
kampung.
Menyadari Datu Mangambe adalah sosok orang yang
memiliki ilmu tinggi, Datu Silo Nabolon tidak lagi berniat untuk mencari
alasan, bagaimana supaya pernikahan antara Datu Mangambe dengan putrinya tidak
berlanjut. Seperti yang telah ia janjikan, pesta tiha hari tiga malam kemudian
digelar, untuk memeriahkan upacara pernikahan Datu Mangambe dengan putrinya
Putri Tailan Nauli.
Pasca pernikahannya dengan Putri Tailan Nauli, Datu
Mangambe mendapat lahan yang cukup dari ayah mertuanya Datu Silo Nabolon untuk
diusahai, sekaligus di tempat itu juga didirikan rumah untuk tinggal. Datu Silo
Nabolon sengaja memilih tempat itu karena memang lahan itu dekat dengan sumber
air. Hal itu dilakukan, agar mereka kelak tidak kesulitan untuk memenuhi
kebutuhannya akan air.
Tiga bulan berselang setelah pernikahan, Putri
Tailan Nauli diketahui telah berbadan dua. Pada waktu yang sama, Datu Mangambe
juga teringat akan apa yang telah ia ucapkan sebagai janji di hadapan Mata
Sopiak, yang telah membantu dirinya untuk mendpatkan seekor gajah, sehingga ia
dapat melengapi persyaratan mahar guna memenuhi hasratnya untuk mendapatkan
Putri Tailan Nauli yang kemudian menjadi istrinya.
Datu Mangambe menjelaskan semua peristiwa itu,
sampai kemudian berakhir pada sebuah janji. Janji harus ditepati dan harus
dibayar. Begitulah Datu Mangambe bersikap terhadap sebuah janji. Oleh karena
itu, Datu Mangambe menyampaikan niat itu kepada istrinya, bahwa ia akan pergi
menunaikan janji membawakan seorang wanita untuk dijadikan istri oleh Mata
Sopiak.
Namun rasa cinta terhadap Datu Mangambe membuat
Putri Tailan Nauli untuk mengambil sebuah keputusan. Putri Tailan Nauli
memutuskan untuk ikut erta kemanapun Datu Mangambe pergi. Kali ini Datu
Mangambe tidak mampu menolak dan ia mengabulkan permintaan istrinya Putri
Tailan Nauli.
Setelah persiapan untuk bepergian dirasa cukup,
kemudian Datu Mangambe dan istrinya Putri Tailan Nauli bertolak menuju dan
masuk hutan belantara dimana Mata Sopiak tinggal. Tetapi sebelumnya, Datu
Mangambe telah membicarakan keputusan itu terlebih dahulu kepada orang tua dan
kerabat Putri Tailan Nauli, dan sekaligus menggunakan kesempatan itu
berpamitan.
Dalam perjalanan menuju hutan tempat tinggal Mata
Sopiak, Datu Mangambe dan istrinya Putri Tailan Nauli bertemu dengan seorang
gadis. Kesempatan itu tidak disia-siakan Datu Mangambe, lalu ia menyapa gadis
itu dengan ramah. Saat mereka bertegur sapa, Datu Mangambe mengajak gadis itu
untuk ikut dengan mereka bertemu Mata Sopiak, dan dengan kekuatan supra natural
yang ia miliki, Datu Mangambe menaklukkan gadis itu dan gadis itu menurut saja
kepada perkataan Datu Mangambe, lalu ikut dengan mereka menuju tempat tinggal
Mata Sopiak.
Cukup panjang jalan yang mereka lalui, sehingga
mereka harus berhenti berulang-kali untuk sekedar melepas letih. Maklum,
kondisi Putri Tailan Nauli yang sedang berbadan dua, memaksa mereka untuk
melakukan itu, dan akan melanjutkan perjalanan setelah dirasa tenaga sudah
pulih kembali.
Perjalanan jauh yang memberatkan Putri Tailan Nauli,
tidak membuat Datu Mangambe berniat untuk menghentikan perjalanan. Perjalan
terus dilanjutkan meskipun harus banyak beristirahat setiap istrinya Putri
Tailan Nauli mengeluh keletihan. Datu Mangambe memutuskan untuk beristirahat
dan begitu seterusnya hingga akhirnya mereka tiba ditengah hutan belantara, dan
berjumpa dengan Mata Sopiak.
Putri Tailan Nauli dan gadis yang ikut dengan
mereka terkejut bercampur takut melihat wajah Mata Sopiak yang memang sangat
menakutkan. Tetapi rasa takut itu kemudian berangsur hilang, melihat Datu
Mangambe berpelukan dengan sukacita, lalu bercengkerama dalam suasana yang
begitu hangat.
Setelah puas bicara ngalor ngidul, kemudian pembicaraan
mereka mengarah kepada pembicaraan pada saat dulu. Datu Mangambe menyebut bahwa
kedatangannya adalah untuk menyelesaikan janji yang telah ia ucapkan pada masa
silam, agar diantara mereka berdua sebagai sahabat, tidak terjadi tindak
penghianatan atas sebuah janji.
Kemudian Datu Mangambe menjelaskan kepada gadis
yang ikut dengan mereka, bahwa tujuan perjalanan mereka berjumpa dengan Mata
Sopiak, adalah untuk mempertemukan dia dengan Mata Sopiak, dan selanjutnya
hidup bersama sebagai pasangan suami istri.
Sekali lagi gadis itu tidak mampu menolak Datu
Mangambe, lalu menerima begitu saja Mata Sopiak menjadi suaminya. Memang pada
awalnya gadis itu merasa takut dengan tampilan Mata Sopiak, tetapi setelah
cukup lama ia memperhatikan Mata Sopiak, gadis itu menilai bahwa dibalik wajahnya
yang seram, Mata Sopiak adalah pria yang baik.
Tak terbilang rasa bahagia yang menyelimuti
perasaan Mata Sopiak saat itu. Berulangkali ia mengucap terimakasih kepada Datu
Mangambe, sambil memeluknya dengan sangat erat. Mata Sopiak melakukan itu
sebagai ungkapakan rasa bahagianya. Mata Sopiak menyebut, cacat yang seolah
telah membuatnya mati, tetapi Datu Mangambe mengubah dirinya seolah bangkit
dari kematian itu. Saat itu, semangat hidup Mata Sopiak menjadi semakin
bergairah.
Saking bahagianya, Mata Sopiak memaksa Datu
Mangambe dan istrinya Putri Tailan Nauli, supaya ikut bersama Mata Sopiak ke
kampung halamannya di Parsambilan. Mata Sopiak
sangat berharap agar Datu Mangambe dan istri, turut hadir dalam perayaan
peristiwa bahagaia itu. Mata Sopiak merasa kebahagiaannya akan sangat sempurna,
jika Datu Mangambe dan istrinya Putri Tailan Nauli bisa hadir.
Untuk tidak mengurangi rasa bahagia yang sedang
melanda hati Mata Sopiak, lalu Datu Mangambe menyanggupi permintaan sahabatnya
itu, dan bersama-sama bertolak menuju kampung halaman Mata Sopiak. Sepanjang
jalan yang dilalui, Mata Sopiak selalu menciptakan rasa takut kepada siapa saja
yang berpapasan dengan mereka. Tidak sedikit anak kecil menangis histeris dan
yang lainnya lari terbirit-birit saat melihat wajah Mata Sopiak.
Setibanya di kampung halaman Mata Sopiak, seluruh warga kampung
terperangah mengetahui Mata Sopiak akan segera menikah. Mereka tidakmenyangka
kalau Mata Sopiak mampun mengakhiri masa lajangnya dengan status cacat yang ia
sandang. Warga kampung belum menyadari, bahwa peristiwa itu bisa terjadi tidak
lepas dari andil Datu Mangambe yang sangat begitu besar.
Akhirnya seluruh masyarakat kampung turut larut
berbahagia pada upacara pernikahan Mata Sopiak, yang dilanjutkan dengan acara
pesta yang tergolong sangat meriah. Wajar saja perayaan pesta pernikahan itu
diselenggarakan dengan sangat meriah, mengingat perkawinan itu dianggap tidak
akan pernah terjadi bagi sosok manusia seperti Mata Sopiak.
Sambil menikmati kemeriahan pesta perkawinan Mata
Sopiak, Datu Mangambe mengarahkan perhatiannya kepada alam dan lingkungan
sekitar kampung. Datu Mangambe begitu tertarik dengan kesuburan tanaman yang
tumbuh, sehingga menumbuhkan niat dalam hatinya untuk tinggal di daerah itu.
Setelah upacara dan pesta perkawinan rampung,
kemudian Datu Mangambe menyampaikan maksud yang terselip di hatinya kepada Mata
Sopiak, untuk diperkenankan tinggal di sekitar Parsambilan kampung halamannya
Mata Sopiak, dan Datu Mangambe akan sangat berterima kasih jika Mata Sopiak
juga mau memilihkan tempat bagi Datu Mangambe dan istrinya, untuk membuka lahan
dan bertani di tempat itu.
Persahabatan yang telah terjalin antar keduanya,
membuat Mata Sopiak menyambut dengan senang hati keinginan Datu mangambe untuk
tinggal dan hidup di sekitar kampung halamannya di Parsambilan. Untuk
mewujudkan keinginan sahabatnya itu, Mata Sopiak kemudian menghantar sahabatnya
itu ke lahan yang berada di sebelah matahari terbit, dan Datu Mangambe bersama
istrinya Putri Tailan Nauli kemudian tinggal disana. Lahan inilah yang kemudian
diketahui bernama Kampung Hite Tano.
Beberapa bulan berselang, setelah Datu Mangambe
membuka lahan dan tinggal di Hite Tano, tibalah waktunya Putri Tailan Nauli
Boru Simanjuntak untuk melakukan persalinan. Dengan persiapan yang sangat
minim, lalu istri Datu Mangambe melahirkan seorang anak laki-laki yang oleh
mereka diberi nama Sitanom Bakkar.
Cukup lama Datu Mangambe beserta istri dan anaknya
tinggal di Hite Tano. Namun, jiwa petualangannya yang terus tumbuh dan membara,
membuatnya tidak bisa berlama-lama tinggal disatu tempat.
Setelah Si Tanom Bakkar tumbuh semakin dewasa,
kemudian Datu Mangambe pamit kepada istri dan anaknya untuk pergi lagi bertualang.
Semula Putri Tailan Nauli berusaha untuk menahan rencana kepergian itu, tetapi
niat Datu Mangambe sudah bulat dan jika ia berencana rasanya tidak mungkin
untuk ditunda. Putri Tailan Nauli akhirnya luluh dan pasrah, kemudian
mengijinkan Datu Mangambe pergi.
Setelah siap dengan berbagai bekal untuk bepergian,
lalu Datu Mangambe berangkat dan bertolak menuju wilayah Parsoburan. Menurut
cerita, di wilayah Parsoburan Datu Mangambe menikah dengan seorang wanita
keturunan Marga Lumban Gaol.
Kurang jelas jejak keturunan Datu Mangambe di
wilayah ini, tetapi tidak sedikit dari penduduk diwilayah ini yang mengaku
bahwa mereka adalah keturunan Marga Silaban, namun pada kenyataannya mereka
menggunakan marga lain. Ada yang menggunakan Marga Naibaho, Sitindaon dan
Sitorus (walahualam).
Tidak lama kemudian ia meninggalkan Parsoburan dan
bertolak menuju Tanah Dairi, lalu menikah lagi di Tanah Dairi dengan wanita
keturunan Marga Manik, yang diperkirakan keturunannya melebur dan menggunakan
Marga Lingga.
Petualangan Datu Mangambe belum juga berhenti, dari
Tanah Dairi ia melanjutkan petualangannya ke Tanah Karo, lalu menikah lagi
disana. Belum diketahui wanita keturunan marga mana, yang dijadikan istri oleh Datu
Mangambe. Namun keturunannya, disebut-sebut melebur dan menggunakan Marga
Kaban. Kaban sendiri diperkirakan singkatan dari Karo Silaban (walahualam)
Di usianya yang sudah cukup uzur, Datu Mangambe
kemudian berniat melanjutkan perjalanannya dari Tanah Karo menuju kampung
halamannya di Silaban Rura. Ia berharap menyelesaikan karya dan hidupnya dengan
tenang di tanah yang ia garap sendiri. Namun niat itu tidak pernah kesampaian,
lantaran perjalanannya terhenti di Tanah Dairi. Datu Mangambe menghembuskan
nafas terakhirnya di hutan Tanah Dairi, sebelum sampai di rumah istrinya Si
Boru Manik.
Sementara di Sitapean, Si Boru Manurung istri Datu Mangambe yang
ketiga masih terus menunggu kepulangan Datu Mangambe dari Sibuntuon-Porsea. Cukup
banyak waktu yang berlalu, tetapi Datu Mangambe tak kunjung pulang jua. Tak
sabar menunggu lebih lama, Si Boru Manurung memutuskan menyusul suaminya Datu
Mangambe ke Sibuntuon – Porsea. Ia tidak tau, kalau suaminya Datu Mangambe
tidak pernah sampai ke Sibuntuon.
Setibanya di Sibuntuon, Si Boru Manurung sangat
terkejut, karena kemudian ia dibertahu bahwa Datu Mangambe tidak pernah sampai
ke Sibountoan Porsea. Menyadari Datu Mangambe telah berbohong kepadanya, lalu
Si Boru Manurung memutuskan untuk tidak kembali lagi ke Sitapean di Silaban
Rura. Sampai akhir hayatnya, Si Boru Manurung kemudian menetap bersama
kerabatnya di Sibuntuon – Porsea.
- CATATAN
- Banyak hal memang
membuat pesan yang mau disampaikan tulisan ini, tidak cocok atau tidak
sependapat dengan banyak pihak, khususnya para pembaca sekalian. Setelah mendapat
informasi dari berbagai pihak, barulah tulisan ini disebar secara luas, setelah
melalui berbagai proses penyaringan.Tidak ada data valid, yang bisa dijadikan
referensi kecuali berdasarkan cerita yang pada umumnya didapat secara turun
temurun.
Demikian tulisan ini kami cukupkan sampai disini. Semoga bermanfaat ... Tuhan Memberkati ... !!!!!
Sekian dan Terimakasih ... SALAM GEMILANG.