Dulu pada zamannya di sebuah tempat di
Dataran Tinggi Toba (sekarang Humbang Hasundutan), tinggallah seorang pria yang
berasal dari masyarakat (marga) Silaban, SAKKAR TOBA namanya. Ia tumbuh sebagai
anak yatim piatu dan berkembang dalam asuhan pamannya, sebab belum sampai
usianya lima tahun, kedua orang tuanya tewas dibunuh dalam sebuah peristiwa
konspirasi.
Sakkar Toba lahir di Hatoguan Pulau Samosir,
ayahnya Datu Bira Silaban dan ibunya Pinta Omas Boru Sinaga. Semula mereka
menetap Hatoguan Pulau Samosir, tetapi situasi memaksa Sakkar Toba dan pamannya
Datu Mangambe untuk meninggalkan Pulau Samosir dan mengungsi ke arah selatan
untuk menghindar dari kejaran sekelompok orang, yang menginginkan kebinasaan
Datu Bira dan keturunannya.
Sedikit informasi, Datu Mangambe adalah
putera kedua dari tiga bersaudara, Datu Bira ayah Sakkar Toba sebagai anak
sulung, Datu Guluan sebagai anak bungsu. Bertiga mereka adalah anak dari Ompu
Raja Dioma-Oma Silaban dan ibu mereka adalah keturuna Raja (marga) Sinaga.
Diceritakan, mereka bertiga tumbuh dan berkembang di lingkungan kerabat ibunya
di Hatoguan Pulau Samosir.
Sepeninggal ayah dan ibunya, Sakkar Toba
kemudian jatuh kedalam asuhan Datu Mangambe. Disamping wasiat, menjalani hidup
tanpa kedua orang tua, menjadi alasan bagi Datu Mangambe untuk mengasuh dan
memperhatikan pertumbuhan keponakannya Sakkar Toba dengan ekstra serius.
Seiring waktu, Sakkar Toba terus berkembang
dan tumbuh semakin dewasa. Menyadari itu, kemudian Datu Mangambe memberi sinyal
kepada Sakkar Toba, supaya segera mengakhiri masa lajang. Datu Mangambe
memiliki alasan yang kuat untuk melakukan itu, sebab ia terikat pada sebuah
wasiat kakaknya, untuk menjaga agar garis keturunan kakaknya Datu Bira terus
tumbuh, berkembang dan berkelanjutan.
Menerima sinyal untuk segera mencari
pendamping hidup, membuat Sakkar Toba menjadi sungkan. Kesungkanan itu muncul
karena ia tau, pamannya Datu Mangambe juga masih hidup melajang. Menyadari itu,
Sakkar Toba tentu saja tidak merasa nyaman, ketika ia disarankan untuk segera
menikah. Sementara itu, tabu bagi adat istiadat setempat jika menikah
mendahului orang yang lebih tua, yang masih memiliki ikatan keluarga.
Datu Mangambe menangkap dan memahami
perubahan yang terjadi pada diri Sakkar Toba, sebagai reaksi atas sinyal yang
ia berikan. Ia tau keponakannya itu merasa sungkan untuk menjawab tawarannya,
karena ia sendiri sebagai paman masih hidup dalam kesendirian. Datu Mangambe
sadar, kalau Sakkar Toba tidak tau persis peristiwa yang telah terjadi dimasa lampau.
Untuk meyakinkan Sakkar Toba, Datu Mangambe
menjelaskan secara rinci peristiwa yang pernah terjadi terhadap keluarga pada
masa yang telah lalu. Datu Mangambe menceritakan kembali, dari awal hingga
mengapa mereka berdua harus tinggal jauh dari sanak saudara. Yang paling
penting bagi Sakkar Toba untuk diingat adalah, wasiat dari Datu Bira ayahnya
sendiri terhadap pamannya Datu Mangambe.
Mendengar penjelasan itu, Sakkar Toba
kemudian mengerti dan semakin menaruh hormat kepada pamannya Datu Mangambe atas
pengorbanan yang begitu besar terhadap keluarga. Sakkar Toba tidak pernah
menyangka, jika peristiwa yang menimpa dia dan kedua orang tuanya telah
melibatkan pamannya begitu jauh. Pengorbanan yang sangat luar biasa,
pengorbanan yang sungguh-sungguh berdasarkan kasih sayang.
Sakkar Toba sangat terharu karena pamannya
telah berkorban begitu besar. Untuk kesinambungan generasinya, pamannya Datu
Mangambe telah memberikan sumbangan yang tiada ternilai harganya. Berlanjutnya
generasi ayahnya Datu Bira tidak akan pernah terjadi tanpa pengorbanan pamannya
Datu Mangambe. Kisah itu membuat air mata Sakkar Toba terus bercucuran.
Untuk menjawab tawaran pamannya, Sakkar Toba
segera berkemas dan mempersiapkan diri, baik moral maupun mental. Ia tidak mau
membuat pamannya kecewa setelah mengetahui begitu besar kasih sayang pamannya
kepada keluarga dan dirinya. Besarnya kasih sayang itu dapat dilihat dari
kesetiaan pamannya untuk tidak menikah sebelum Sakkar Toba menikah lebih dulu.
Disamping moral dan mental, Sakkar Toba juga
mempersiapkan kebutuhan konsumsi selama dalam perjalanan, mengingat jarak yang
akan ditempuh tidak diketahui seberapa jauh dan seberapa lama ia akan
menghabiskan waktu. Tempat yang ia tuju sama sekali belum pernah ia kunjungi,
sehingga tidak ada gambaran yang boleh ia pakai sebagai kompas.
Setelah perbekalan dirasa mencukupi, Sakkar
Toba kemudian pamit. Ia minta doa restu, agar tujuan utamanya mendapat
pendamping hidup, diberikan kemudahan oleh Yang Maha Kuasa. Datu Mangambe
memberikan restunya dengan kasih sayang, berharap semua upaya dan doanya
berkenan kepada Yang Maha Kuasa.
Sakkar Toba memutuskan untuk bertolak ke
arah tenggara menuju suatu tempat yang oleh masyarakat sekitar disebut Rura
Silindung. Dengan berat hati Sakkar Toba bergerak meninggalkan kampung
halamannya Humbang Hasundutan. Tidak diketahui apa alasannya, mengapa Sakkar
Toba kemudian memutuskan untuk bertolak ke wilayah itu.
Rasa sedih memang membebani pikiran Sakkar
Toba saat hendak pergi. Tetapi ia harus pergi, untuk menggenapi cita-cita semua
pihak termasuk kesepakatan antara ayahnya Datu Bira dengan pamannya Datu
Mangambe yang tertuang dalam sebuah ikrar, sebelum ayahnya Datu Bira
menghembuskan nafas terakhir.
Sakkar Toba harus menempuh jarak yang jauh,
serta menghabiskan waktu bermalam-malam. Rasa letih mulai terasa membebani
dirinya, setelah berjalan sangat jauh. Tetapi semangat kasih sayang dari
pamannya Datu Mangambe, membuang semua rasa letih yang menekan dirinya.
Perjalanan yang cukup melelahkan itu
akhirnya membuahkan hasil. Nun jauh di ujung sana, Sakkar Toba dapat melihat
kepulan asap putih menjulang ke angkasa, pertanda di dekat situ ada pemukiman
warga. Mengetahui tempat yang ia tuju sudah berada di depan mata, semangat
Sakkar Toba semakin terbangun. Ia mempercepat langkahnya, dengan harapan ia
bisa sampai lebih cepat.
Disaat Sakkar Toba berusaha untuk
mempercepat langkah, ia mendadak berhenti, karena mendengar suara
andung (ratap tangis). Sangat jelas ditelinga Sakkar Toba, andung itu
berasal dari seorang wanita. Sakkar Toba tau betul, suara tangis itu adalah
pertanda bahwa disekitar itu telah terjadi peristiwa duka . Sakkar Toba
memusatkan perhatian untuk memastikan kebenaran suara itu.
Penasaran ada orang sedang meratap ditempat
sesunyi itu, Sakkar Toba berusaha mencari tau darimana sumber suara itu.
Kemudian Sakkar Toba melangkah ke arah itu, dengan harapan langkahnya sudah
tepat. Semakin ia melangkah semakin jelas suara itu di telinganya dan kemudian
ia menemukannya.
Sakkar Toba berhenti melangkah. Ia melihat
dangau (gubuk) yang berdiri agak tinggi, tempat darimana sumber suara itu
berasal. Lalu dengan perlahan dan penuh kewaspadaan, Sakkar Toba menaiki tangga
dangau itu dan ia terkejut ketika melihat seorang wanita muda duduk sendiri
meratapi diri.
Dengan penuh santun, Sakkar Toba menyapa
wanita itu sambil memperkenalkan diri. Lalu ia bertanya, siapa wanita itu dan
apa gerangan yang sedang terjadi sehingga ia menangis meratapi diri. Cukup lama
Sakkar Toba menunggu, hingga kemudian wanita itu mau bicara, dan menuturkan
peristiwa yang telah ia alami.
Dari penuturan itu, Sakkar Toba mengetahui
bahwa wanita itu adalah seseorang yang berasal dari keturunan Raja (marga)
Pasaribu yang sedang meratapi kematian suaminya, setelah meregang nyawa
dicabik-cabik oleh seekor Aili marhasaktian (Babi Hutan
Siluman) , dimana binatang itu diceritakan
memiliki rante (kalung magis) yang membuatnya menjadi kuat
melebihi semestinya.
Boru Pasaribu menambahkan, ia belum
mengabari warga desa terkait peristiwa yang telah ia alami, dan memilih untuk
bertahan di dangau itu karena rasa takut. Ia khawatir babi hutan yang telah
membunuh suaminya masih berkeliaran di sekitar dangau itu. Dan itulah alasannya
mengapa ia meratap dengan suara begitu keras, dengan harapan ada seseorang yang
melintas dan mendengar.
Selanjutnya Boru Pasaribu memberitahu
identitas almarhum suaminya, yang berasal dari keturunan Raja (marga)
Hutabarat. Mereka berencana tinggal di dangau itu untuk beberapa hari, guna
mengawasi lahan pertanian mereka dari gangguan binatang liar, yang sering
merusak tanaman mereka. Tetapi malang tidak bisa ditolak, peristiwa itulah yang
terjadi.
Mengetahui Boru Pasaribu merasa takut,
Sakkar Toba menawarkan diri untuk menghantar wanita itu pulang ke desa dimana
ia tinggal. Rupanya tawaran itu disambut baik Boru Pasaribu, dan merekapun
beranjak meninggalkan dangau menuju desa, dimana Boru Pasaribu sebelumnya
tinggal bersama almarhum suaminya.
Setibanya di desa, warga sangat terkejut
melihat Boru Pasaribu kembali ke desa didampingi pria tak dikenal. Hal itu
membuat warga sekampung menaruh curiga, ada apa dibalik kedatangan Boru
Pasaribu dengan pria asing itu. Mengetahui itu, kemudian warga desa berdatangan
ke rumah Boru Pasaribu, ingin mengetahui siapa gerangan pria asing itu.
Melihat ekspresi kecurigaan yang tampak di
wajah warga desa, Sakkar Toba kemudian angkat bicara. Ia mengawali perkataannya
dengan memperkenalkan diri, lalu menuturkan peristiwa yang baru saja menimpa
Boru Pasaribu istri dari kerabat mereka. Mendengar penuturan Sakkar Toba yang dibenarkan
oleh Boru Pasaribu, barulah warga desa memahami persoalan yang telah terjadi.
Setelah Sakkar Toba selesai bicara, kemudian
giliran Boru Pasaribu yang bicara. Ia mengeluarkan sebuah pernyataan bernada
serupa sayembara, dengan isi “barang siapa yang mampu membunuh babi hutan itu, dengan membawa kepala binatang
liar itu kehadapannya sebagai bukti, maka apapun yang ada di dalam rumahnya
boleh diambil untuk mereka miliki”. Pernyataan itu diungkapkan dihadapan
penduduk desa, dan siapa saja yang hadir pada saat itu.
Setelah situasi mencekam berubah terasa
lebih tenang, lalu Sakkar Toba memberi salam dan pamit kepada penduduk desa,
kemudian bertolak menuju tempat dimana binatang liar itu memangsa suami Boru
Pasaribu. Tak sulit bagi Sakkar Toba untuk menemukan tempat yang ia tuju,
karena ia memang sudah dari tempat itu sebelumnya.
Kemudian ia menaiki tangga dangau milik Boru
Pasaribu dan diam di dalam guna mengamati sekelilingnya, menunggu babi hutan
pemangsa manusia itu muncul. Cukup lama Sakkar Toba menunggu, namun babi
siluman itu tak kunjung datang. Namun dengan sabar ia tetap menunggu di dalam
dangau, dengan harapan babi hutan itu muncul dan datang mendekati lahan
pertanian Boru Pasaribu.
Pucuk dicinta ulampun tiba. Babi hutan yang
sedari tadi dinanti Sakkar Toba akhirnya datang juga. Sakkar Toba terus
mengamati perilaku binatang itu, untuk memahami betul tindak tanduk binatang
siluman itu. Sakkar Toba perlu mengetahui itu, untuk memperhitungkan
kemampuannya dengan kekuatan siluman yang dimiliki binatang itu.
Binatang pemangsa manusia itu terus
berputar-putar di sekitar dangau, lalu menjauh dan mendekati sebuah kubangan.
Tampak oleh Sakkar Toba, binatang itu menaruh sesuatu diatas sebatang tunggul,
kemudian masuk ke dalam kubangan berlumpur lalu margulu (berkubang),
untuk melumuri seluruh tubuhnya dengan lumpur guna mengurangi suhu panas di
tubuhnya.
Merasakan situasi sudah memungkinkan, Sakkar
Toba kemudian turun dari dangau secara perlahan. Ia berusaha mendekati binatang
itu dengan cara mengendap, untuk memastikan bahwa yang sedang berkubang itu
benar-benar babi hutan yang telah membunuh suami Boru Pasaribu. Hal itu
dilakukan, agar waktu dan tenaga dapat digunakan seefisien mungkin.
Disisi lain, babi hutan yang tengah asyik
berkubang (melumuri tubuhnya dengan lumpur), tidak menyadari bahwa ia sedang di
awasi oleh seseorang. Hal itu hanya bisa terjadi, karena memang Sakkar Toba
memiliki ilmu sakti, sehingga binatang liar itu menjadi tidak tau jika Sakkar
Toba sedang mengawasinya dari jarak yang tidak terlalu jauh.
Kemudian Sakkar Toba mengalihkan
perhatiannya ke sebatang tunggul kayu, tempat dimana binatang itu menaruh
sesuatu. Ia melihat di tunggul kayu itu tergantung sebuah kalung (rante) yang
kata masyarakat setempat membuat babi hutan itu menjadi kuat berlipat ganda
melebihi kekuatan semestinya.
Sakkar Toba menjadi ingat perkataan penduduk
desa, bahwa binatang siluman itu selalu melepas kalungnya jika hendak
berkubang. Dengan alasan, jika kalung itu tidak dilepas, tentu akan terkena air
yang bisa membuat kekuatan magis dari kalung itu hilang dan berubah menjadi
tawar.
Dengan perlahan, Sakkar Toba berusaha
bergeser dari tempat dimana ia bersembunyi, lalu meraih sebatang bambu panjang,
dan menaiki sebuah pohon yang berada tidak jauh dari tunggul dimana binatang
itu menempatkan kalungnya. Dengan sangat perlahan pula, ia mengait kalung itu dari
atas pohon, menariknya hingga akhirnya berada ditangan.
Kemudian Sakkar Toba turun dari atas pohon
setelah mengalungkan rantai itu di lehernya dan menghampiri binatang pemangsa
manusia itu.Tanpa rasa takut Sakkar Toba menghampiri binatang itu dan berdiri
di tepi kubangan, sambil terus mengamati gerak-gerik binatang itu saat sedang
berkubang.
Tentu saja binatang itu terkejut mengetahui
manusia berada sangat dekat dengannya. Babi hutan itu bergegas keluar dari
kubangan dan berusaha meraih kalung dimana ia menempatkannya sebelum ia masuk
ke dalam kubangan. Tetapi kalung sudah tidak berada di tempatnya dan hal itu
membuat binatang itu menjadi marah besar.
Dengan amarah yang tidak terkendali,
binatang itu mengejar Sakkar Toba lalu menyeruduk, berusaha untuk
membinasakannya. Tetapi situasi sudah berubah. Tanpa rantai magis,
binatang itu tidak memiliki kekuatan ekstra. Sebaliknya Sakkar Toba malah
semakin kuat tak tertandingi, setelah ia mengenakan rantai magis milik binatang
siluman itu.
Perkelahian antara Sakkar Toba dengan babi
hutan itupun terjadi, dan berakhir tidak terlalu lama. Sakkar Toba
mengakhiri perlawanan babi hutan itu dengan mudah, karena memang kekuatan
antara keduanya sudah tidak berimbang. Sakkar Toba yang memiliki ilmu sakti,
semakin dikuatkan setelah ia mengenakan kalung milik babi hutan itu.
Sakkar Toba memotong leher babi hutan itu
hingga putus, setelah memastikan binatang itu sudah tak bernyawa. Kemudian ia
membawa kepala binatang itu kehadapan Boru Pasaribu, dan seluruh warga desa.
Tetapi warga desa tidak percaya begitu saja kepada Sakkar Toba, dan mereka
beranggapan tak mungkin ia bisa melakukan itu dengan begitu cepat dan mudah.
Lalu untuk membuktikan bahwa Sakkar Toba
sungguh telah membunuh binatang liar itu, kemudian warga desa sepakat untuk
mendatangi tempat dimana Sakkar Toba melumpuhkan babi hutan itu. Setibanya di
tempat dimana peristiwa itu terjadi, penduduk desa melihat binatang itu
terkulai tak berkepala.
Dengan amarah yang tak terkendali, penduduk
desa membedah binatang itu dengan membabi buta. Mereka mencabik-cabiknya hingga
menjadi potongan-potongan kecil. Dan pada saat membedah dan memotong bagian
perut, salah seorang warga desa menemukan sebuah cincin dari usus binatang buas
itu.
Dan kemudian cincin itu diperlihatkan kepada
Boru Pasaribu, untuk memastikan apakah cincin itu salah satu milik dari
almarhum suaminya. Melihat cincin itu, Boru Pasaribu menjadi sedih dan kembali
menangis. Boru Pasaribu kembali meratap dan menyatakan memang benar bahwa
cincin itu adalah milik almarhum suaminya.
Selesai sudah keraguan warga desa kepada
Sakkar Toba. Penemuan cincin dari usus binatang itu, sudah cukup untuk
dijadikan bukti, bahwa binatang itulah yang menyeruduk suami Boru Pasaribu
hingga tewas dan memakan seluruh tubuhnya hingga
tak bersisa. Kemudian seluruh warga desa dan Sakkar Toba bersama-sama
meninggalkan bangkai binatang itu berserakan, tanpa menguburkannya terlebih
dahulu.
Sesampai di rumah, Boru Pasaribu kemudian
mengucapkan terimakasih kepada Sakkar Toba, karena telah berhasil membalaskan
amarahnya terhadap babi siluman yang telah merenggut nyawa suaminya. Lalu Boru
Pasaribu mempersilahkan Sakkar Toba untuk mengambil apa saja yang ada di dalam
rumahnya, sebagai balas jasa untuk menepati janji yang telah ia ucapkan
sebelumnya.
Boru Pasaribu kaget bukan kepalang, sebab
Sakkar Toba meminta diri Boru Pasaribu sebagai imbalan, untuk dijadikan istri.
Boru Pasaribu tak pernah menduga, jika Sakkar Toba malah meminta
dirinya sendiri untuk diambil sebagai imbalan. Mendengar pernyataan
Sakkar Toba, seluruh warga desa mendadak diam, situasi menjadi hening dan
mencekam.
Semua warga yang hadir di rumah Boru
Pasaribu juga tidak menduga jika Sakkar Toba akan meminta Boru Pasaribu untuk
diambil sebagai balas jasa. Warga desa sangat keberatan dengan permintaan itu,
sebab permintaan itu dianggap diluar dari pernyataan sayembara Boru Pasaribu.
Warga desa yang tergolong masih satu rumpun
(marga) dengan suami Boru Pasaribu, tentu punya alasan untuk menaruh keberatan,
jika istri kerabatnya yang tengah mengandung harus dipersunting oleh pria dari
marga (klan) lain, apalagi orang yang ada dihadapan mereka adalah orang asing,
yang sama sekali tidak dikenal sebelumnya.
Tetapi janji tetaplah janji dan pernyataan
telah diucapkan, dimana barang siapa yang mampu membunuh babi hutan yang telah
membunuh suaminya itu, dan membawa kepala binatang tersebut kehadapannya, maka
apapun yang ada di dalam rumah Boru Pasaribu boleh diambil untuk dimiliki oleh
siapapun yang berhasil membunuh babi siluman itu.
Boru Pasaribu tidak membuat satupun
pengecualian saat mengucapkan sayembara saat itu. Ia tak menyadari, bahwa ia
sendiri termasuk salah satu isi dan menjadi bagian dari rumahnya sendiri. Tentu
iapun adalah salah satu dari sekian isi rumahnya yang turut disayembarakan. Dan
Sakkar Toba memiliki dasar yang kuat, untuk melawan sikap keberatan yang
ditunjukkan oleh warga desa.
Warga Desa dan Pemangku Adat tidak bisa lagi
berkelit, dan akhirnya menyerahkan kasus itu sepenuhnya kepada Boru Pasaribu
untuk mengambil keputusan. Sesungguhnya, Boru Pasaribu tidak merasa keberatan
dengan balas jasa yang dipinta Sakkar Toba. Tetapi kehamilannya memang,
mengikat dirinya dengan warga desa yang memiliki hubungan kekerabatan dengan
almarhum suaminya.
Kemudian Boru Pasaribu memutuskan dan
menyanggupi permintaan Sakkar Toba untuk dijadikan istri tetapi dengan syarat,
Sakkar Toba tidak boleh menggauli dirinya sebagaimana lazimnya pasangan suami istri,
sepanjang ia mengandung benih almarhum suaminya, yakni benih pria yang berasal
dari komunitas (marga) Hutabarat.
Dihadapan Pemangku Adat dan seluruh warga
desa, Sakkar Toba sama sekali tidak keberatan dan menerima syarat yang diajukan
Boru Pasaribu dan ia bersumpah akan menjaga janjinya. Sakkar Toba tau betul,
cukup berat bagi Boru Pasaribu untuk menyanggupi permintaannya, dan Sakkar Toba
sadar hanya dengan syarat itulah, Boru Pasaribu bisa merealisasikan perjanjian
sayembaranya.
Akhinya warga desa menerima keputusan Boru
Pasaribu, walau sesungguhnya mereka menaruh keberatan. Kemudian segala sesuatu
yang berkaitan dengan rencana pernikahan Boru Pasaribu dan Sakkar Toba diatur
sedemikian rupa, sesuai dengan aturan adat-istiadat di desa itu. Setelah
terpenuhi, kemudian Sakkar Toba dan Boru Pasaribu diresmikan menjadi Pasangan
Suami Istri yang sah, menurut hukum adat dan budaya yang berlaku.
Tidak berapa lama setelah pernikahan itu,
Boru Pasaribu kemudian melahirkan anak yang ia kandung atas perkawinannya
dengan anak keturunan (marga) Hutabarat, yang kemudian dikenal dengan nama
SAKKAR PANGURURAN. Berselang beberapa tahun kemudian, dari perkawinannya dengan
Sakkar Toba, ia melahirkan beberapa orang anak, diantaranya dua laki-laki, yang
dikemudian diketahui bernama MARTIANG OMAS dan TUAN SAMPULU.
Melihat anak-anaknya berkembang dan tumbuh
semakin dewasa, Sakkar Toba menjadi ingat akan pamannya Datu Mangambe di
kampung halaman. Kerinduannya semakin menguat dan hal itu menjadi alasan
baginya untuk mengajak anak dan Boru Pasaribu istrinya, pulang ke kampung
halaman guna diperkenalkan kepada sanak saudaranya.
Terkejut bercampur bahagia Datu Mangambe
melihat Sakkar Toba ada di hadapannya. Sakkar Toba datang bukan hanya bersama
istri, tetapi ia datang juga bersama anak-anaknya. Kebahagiaan Datu
Mangambe tentu sangat beralasan, mengingat ikrar dengan kakandanya Datu Bira
telah terlaksana dengan baik. Datu Mangambe meneteskan air mata, pertanda ia
sungguh bersuka cita.
Beberapa hari kemudian setelah Sakkar Toba kembali, Datu Mangambe menyampaikan hasratnya untuk kembali ke Tipang, dengan maksud menikahi Si Boru Nainggolan yang ia tinggal disana, dan akan segera kembali ke Silaban Rura setelah upacara pernikahan secara resmi usai. Rupanya Datu Mangambe pamannya telah memutuskan untuk menetap dan hidup berumah tangga di Silaban Rura.
Demikian kisah Sakkar Toba Silaban, yang
kami himpun dari berbagai sumber, baik dari anak keturunan (marga) Silaban
sendiri, dan juga dari berbagai sumber yang berasal dari anak keturunan (marga)
lain. Jika kemudian alur ceritanya tidak sesuai dengan harapan banyak orang,
khususnya keturunan Borsak Jungjungan yang sangat besar kemungkinan berbedanya,
kami mohon maaf.
...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar