Minggu, 04 Mei 2014

SAKKAR TOBA


Dulu pada zamannya di sebuah tempat di Dataran Tinggi Toba (sekarang Humbang Hasundutan), tinggallah seorang pria yang berasal dari masyarakat (marga) Silaban, SAKKAR TOBA namanya. Ia tumbuh sebagai anak yatim piatu dan berkembang dalam asuhan pamannya, sebab belum sampai usianya lima tahun, kedua orang tuanya tewas dibunuh dalam sebuah peristiwa konspirasi.

Sakkar Toba lahir di Hatoguan Pulau Samosir, ayahnya Datu Bira Silaban dan ibunya Pinta Omas Boru Sinaga. Semula mereka menetap Hatoguan Pulau Samosir, tetapi situasi memaksa Sakkar Toba dan pamannya Datu Mangambe untuk meninggalkan Pulau Samosir dan mengungsi ke arah selatan untuk menghindar dari kejaran sekelompok orang, yang menginginkan kebinasaan Datu Bira dan keturunannya.

Sedikit informasi, Datu Mangambe adalah putera kedua dari tiga bersaudara, Datu Bira ayah Sakkar Toba sebagai anak sulung, Datu Guluan sebagai anak bungsu. Bertiga mereka adalah anak dari Ompu Raja Dioma-Oma Silaban dan ibu mereka adalah keturuna Raja (marga) Sinaga. Diceritakan, mereka bertiga tumbuh dan berkembang di lingkungan kerabat ibunya di Hatoguan Pulau Samosir.

Sepeninggal ayah dan ibunya, Sakkar Toba kemudian jatuh kedalam asuhan Datu Mangambe. Disamping wasiat, menjalani hidup tanpa kedua orang tua, menjadi alasan bagi Datu Mangambe untuk mengasuh dan memperhatikan pertumbuhan keponakannya Sakkar Toba dengan ekstra serius.

Seiring waktu, Sakkar Toba terus berkembang dan tumbuh semakin dewasa. Menyadari itu, kemudian Datu Mangambe memberi sinyal kepada Sakkar Toba, supaya segera mengakhiri masa lajang. Datu Mangambe memiliki alasan yang kuat untuk melakukan itu, sebab ia terikat pada sebuah wasiat kakaknya, untuk menjaga agar garis keturunan kakaknya Datu Bira terus tumbuh, berkembang dan berkelanjutan.

Menerima sinyal untuk segera mencari pendamping hidup, membuat Sakkar Toba menjadi sungkan. Kesungkanan itu muncul karena ia tau, pamannya Datu Mangambe juga masih hidup melajang. Menyadari itu, Sakkar Toba tentu saja tidak merasa nyaman, ketika ia disarankan untuk segera menikah. Sementara itu, tabu bagi adat istiadat setempat jika menikah mendahului orang yang lebih tua, yang masih memiliki ikatan keluarga.

Datu Mangambe menangkap dan memahami perubahan yang terjadi pada diri Sakkar Toba, sebagai reaksi atas sinyal yang ia berikan. Ia tau keponakannya itu merasa sungkan untuk menjawab tawarannya, karena ia sendiri sebagai paman masih hidup dalam kesendirian. Datu Mangambe sadar, kalau Sakkar Toba tidak tau persis peristiwa yang telah terjadi dimasa lampau.

Untuk meyakinkan Sakkar Toba, Datu Mangambe menjelaskan secara rinci peristiwa yang pernah terjadi terhadap keluarga pada masa yang telah lalu. Datu Mangambe menceritakan kembali, dari awal hingga mengapa mereka berdua harus tinggal jauh dari sanak saudara. Yang paling penting bagi Sakkar Toba untuk diingat adalah, wasiat dari Datu Bira ayahnya sendiri  terhadap pamannya Datu Mangambe.

Mendengar penjelasan itu, Sakkar Toba kemudian mengerti dan semakin menaruh hormat kepada pamannya Datu Mangambe atas pengorbanan yang begitu besar terhadap keluarga. Sakkar Toba tidak pernah menyangka, jika peristiwa yang menimpa dia dan kedua orang tuanya telah melibatkan pamannya begitu jauh. Pengorbanan yang sangat luar biasa, pengorbanan yang sungguh-sungguh berdasarkan kasih sayang.

Sakkar Toba sangat terharu karena pamannya telah berkorban begitu besar. Untuk kesinambungan generasinya, pamannya Datu Mangambe telah memberikan sumbangan yang tiada ternilai harganya. Berlanjutnya generasi ayahnya Datu Bira tidak akan pernah terjadi tanpa pengorbanan pamannya Datu Mangambe. Kisah itu membuat air mata Sakkar Toba terus bercucuran.

Untuk menjawab tawaran pamannya, Sakkar Toba segera berkemas dan mempersiapkan diri, baik moral maupun mental. Ia tidak mau membuat pamannya kecewa setelah mengetahui begitu besar kasih sayang pamannya kepada keluarga dan dirinya. Besarnya kasih sayang itu dapat dilihat dari kesetiaan pamannya untuk tidak menikah sebelum Sakkar Toba menikah lebih dulu.

Disamping moral dan mental, Sakkar Toba juga mempersiapkan kebutuhan konsumsi selama dalam perjalanan, mengingat jarak yang akan ditempuh tidak diketahui seberapa jauh dan seberapa lama ia akan menghabiskan waktu. Tempat yang ia tuju sama sekali belum pernah ia kunjungi, sehingga tidak ada gambaran yang boleh ia pakai sebagai kompas.

Setelah perbekalan dirasa mencukupi, Sakkar Toba kemudian pamit. Ia minta doa restu, agar tujuan utamanya mendapat pendamping hidup, diberikan kemudahan oleh Yang Maha Kuasa. Datu Mangambe memberikan restunya dengan kasih sayang, berharap semua upaya dan doanya berkenan kepada Yang Maha Kuasa.

Sakkar Toba memutuskan untuk bertolak ke arah tenggara menuju suatu tempat yang oleh masyarakat sekitar disebut Rura Silindung. Dengan berat hati Sakkar Toba bergerak meninggalkan kampung halamannya Humbang Hasundutan. Tidak diketahui apa alasannya, mengapa Sakkar Toba kemudian memutuskan untuk bertolak ke wilayah itu.

Rasa sedih memang membebani pikiran Sakkar Toba saat hendak pergi. Tetapi ia harus pergi, untuk menggenapi cita-cita semua pihak termasuk kesepakatan antara ayahnya Datu Bira dengan pamannya Datu Mangambe yang tertuang dalam sebuah ikrar, sebelum ayahnya Datu Bira menghembuskan nafas terakhir.

Sakkar Toba harus menempuh jarak yang jauh, serta menghabiskan waktu bermalam-malam. Rasa letih mulai terasa membebani dirinya, setelah berjalan sangat jauh. Tetapi semangat kasih sayang dari pamannya Datu Mangambe, membuang semua rasa letih yang menekan dirinya.

Perjalanan yang cukup melelahkan itu akhirnya membuahkan hasil. Nun jauh di ujung sana, Sakkar Toba dapat melihat kepulan asap putih menjulang ke angkasa, pertanda di dekat situ ada pemukiman warga. Mengetahui tempat yang ia tuju sudah berada di depan mata, semangat Sakkar Toba semakin terbangun. Ia mempercepat langkahnya, dengan harapan ia bisa sampai lebih cepat.

Disaat Sakkar Toba berusaha untuk mempercepat langkah, ia mendadak berhenti, karena mendengar suara andung (ratap tangis). Sangat jelas ditelinga Sakkar Toba, andung itu berasal dari seorang wanita. Sakkar Toba tau betul, suara tangis itu adalah pertanda bahwa disekitar itu telah terjadi peristiwa duka . Sakkar Toba memusatkan perhatian untuk memastikan kebenaran suara itu.

Penasaran ada orang sedang meratap ditempat sesunyi itu, Sakkar Toba berusaha mencari tau  darimana sumber suara itu. Kemudian Sakkar Toba melangkah ke arah itu, dengan harapan langkahnya sudah tepat. Semakin ia melangkah semakin jelas suara itu di telinganya dan kemudian ia menemukannya.

Sakkar Toba berhenti melangkah. Ia melihat dangau (gubuk) yang berdiri agak tinggi, tempat darimana sumber suara itu berasal. Lalu dengan perlahan dan penuh kewaspadaan, Sakkar Toba menaiki tangga dangau itu dan ia terkejut ketika melihat seorang wanita muda duduk sendiri meratapi diri.

Dengan penuh santun, Sakkar Toba menyapa wanita itu sambil memperkenalkan diri. Lalu ia bertanya, siapa wanita itu dan apa gerangan yang sedang terjadi sehingga ia menangis meratapi diri. Cukup lama Sakkar Toba menunggu, hingga kemudian wanita itu mau bicara, dan menuturkan peristiwa yang telah ia alami.

Dari penuturan itu, Sakkar Toba mengetahui bahwa wanita itu adalah seseorang yang berasal dari keturunan Raja (marga) Pasaribu yang sedang meratapi kematian suaminya, setelah meregang nyawa dicabik-cabik oleh seekor Aili marhasaktian (Babi Hutan Siluman) , dimana binatang itu diceritakan memiliki rante  (kalung magis) yang membuatnya menjadi kuat melebihi semestinya.

Boru Pasaribu menambahkan, ia belum mengabari warga desa terkait peristiwa yang telah ia alami, dan memilih untuk bertahan di dangau itu karena rasa takut. Ia khawatir babi hutan yang telah membunuh suaminya masih berkeliaran di sekitar dangau itu. Dan itulah alasannya mengapa ia meratap dengan suara begitu keras, dengan harapan ada seseorang yang melintas dan mendengar.

Selanjutnya Boru Pasaribu memberitahu identitas almarhum suaminya, yang berasal dari keturunan Raja (marga) Hutabarat. Mereka berencana tinggal di dangau itu untuk beberapa hari, guna mengawasi lahan pertanian mereka dari gangguan binatang liar, yang sering merusak tanaman mereka. Tetapi malang tidak bisa ditolak, peristiwa itulah yang terjadi.

Mengetahui Boru Pasaribu merasa takut, Sakkar Toba menawarkan diri untuk menghantar wanita itu pulang ke desa dimana ia tinggal. Rupanya tawaran itu disambut baik Boru Pasaribu, dan merekapun beranjak meninggalkan dangau menuju desa, dimana Boru Pasaribu sebelumnya tinggal bersama almarhum suaminya.

Setibanya di desa, warga sangat terkejut melihat Boru Pasaribu kembali ke desa didampingi pria tak dikenal. Hal itu membuat warga sekampung menaruh curiga, ada apa dibalik kedatangan Boru Pasaribu dengan pria asing itu. Mengetahui itu, kemudian warga desa berdatangan ke rumah Boru Pasaribu, ingin mengetahui siapa gerangan pria asing itu.

Melihat ekspresi kecurigaan yang tampak di wajah warga desa, Sakkar Toba kemudian angkat bicara. Ia mengawali perkataannya dengan memperkenalkan diri, lalu menuturkan peristiwa yang baru saja menimpa Boru Pasaribu istri dari kerabat mereka. Mendengar penuturan Sakkar Toba yang dibenarkan oleh Boru Pasaribu, barulah warga desa memahami persoalan yang telah terjadi.

Setelah Sakkar Toba selesai bicara, kemudian giliran Boru Pasaribu yang bicara. Ia mengeluarkan sebuah pernyataan bernada serupa sayembara, dengan isi “barang siapa yang mampu membunuh babi hutan itu, dengan membawa kepala binatang liar itu kehadapannya sebagai bukti, maka apapun yang ada di dalam rumahnya boleh diambil untuk mereka miliki”. Pernyataan itu diungkapkan dihadapan penduduk desa, dan siapa saja yang hadir pada saat itu.

Setelah situasi mencekam berubah terasa lebih tenang, lalu Sakkar Toba memberi salam dan pamit kepada penduduk desa, kemudian bertolak menuju tempat dimana binatang liar itu memangsa suami Boru Pasaribu. Tak sulit bagi Sakkar Toba untuk menemukan tempat yang ia tuju, karena ia memang sudah dari tempat itu sebelumnya.

Kemudian ia menaiki tangga dangau milik Boru Pasaribu dan diam di dalam guna mengamati sekelilingnya, menunggu babi hutan pemangsa manusia itu muncul. Cukup lama Sakkar Toba menunggu, namun babi siluman itu tak kunjung datang. Namun dengan sabar ia tetap menunggu di dalam dangau, dengan harapan babi hutan itu muncul dan datang mendekati lahan pertanian Boru Pasaribu.

Pucuk dicinta ulampun tiba. Babi hutan yang sedari tadi dinanti Sakkar Toba akhirnya datang juga. Sakkar Toba terus mengamati perilaku binatang itu, untuk memahami betul tindak tanduk binatang siluman itu. Sakkar Toba perlu mengetahui itu, untuk memperhitungkan kemampuannya dengan kekuatan siluman yang dimiliki binatang itu.

Binatang pemangsa manusia itu terus berputar-putar di sekitar dangau, lalu menjauh dan mendekati sebuah kubangan. Tampak oleh Sakkar Toba, binatang itu menaruh sesuatu diatas sebatang tunggul, kemudian masuk ke dalam kubangan berlumpur lalu margulu (berkubang), untuk melumuri seluruh tubuhnya dengan lumpur guna mengurangi suhu panas di tubuhnya.

Merasakan situasi sudah memungkinkan, Sakkar Toba kemudian turun dari dangau secara perlahan. Ia berusaha mendekati binatang itu dengan cara mengendap, untuk memastikan bahwa yang sedang berkubang itu benar-benar babi hutan yang telah membunuh suami Boru Pasaribu. Hal itu dilakukan, agar waktu dan tenaga dapat digunakan seefisien mungkin.

Disisi lain, babi hutan yang tengah asyik berkubang (melumuri tubuhnya dengan lumpur), tidak menyadari bahwa ia sedang di awasi oleh seseorang. Hal itu hanya bisa terjadi, karena memang Sakkar Toba memiliki ilmu sakti, sehingga binatang liar itu menjadi tidak tau jika Sakkar Toba sedang mengawasinya dari jarak yang tidak terlalu jauh.

Kemudian Sakkar Toba mengalihkan perhatiannya ke sebatang tunggul kayu, tempat dimana binatang itu menaruh sesuatu. Ia melihat di tunggul kayu itu tergantung sebuah kalung (rante) yang kata masyarakat setempat membuat babi hutan itu menjadi kuat berlipat ganda melebihi kekuatan semestinya.

Sakkar Toba menjadi ingat perkataan penduduk desa, bahwa binatang siluman itu selalu melepas kalungnya jika hendak berkubang. Dengan alasan, jika kalung itu tidak dilepas, tentu akan terkena air yang bisa membuat kekuatan magis dari kalung itu hilang dan berubah menjadi tawar.

Dengan perlahan, Sakkar Toba berusaha bergeser dari tempat dimana ia bersembunyi, lalu meraih sebatang bambu panjang, dan menaiki sebuah pohon yang berada tidak jauh dari tunggul dimana binatang itu menempatkan kalungnya. Dengan sangat perlahan pula, ia mengait kalung itu dari atas pohon, menariknya hingga akhirnya berada ditangan.

Kemudian Sakkar Toba turun dari atas pohon setelah mengalungkan rantai itu di lehernya dan menghampiri binatang pemangsa manusia itu.Tanpa rasa takut Sakkar Toba menghampiri binatang itu dan berdiri di tepi kubangan, sambil terus mengamati gerak-gerik binatang itu saat sedang berkubang. 

Tentu saja binatang itu terkejut mengetahui manusia berada sangat dekat dengannya. Babi hutan itu bergegas keluar dari kubangan dan berusaha meraih kalung dimana ia menempatkannya sebelum ia masuk ke dalam kubangan. Tetapi kalung sudah tidak berada di tempatnya dan hal itu membuat binatang itu menjadi marah besar.

Dengan amarah yang tidak terkendali, binatang itu mengejar Sakkar Toba lalu menyeruduk, berusaha untuk membinasakannya. Tetapi situasi sudah berubah. Tanpa rantai magis, binatang itu tidak memiliki kekuatan ekstra. Sebaliknya Sakkar Toba malah semakin kuat tak tertandingi, setelah ia mengenakan rantai magis milik binatang siluman itu.

Perkelahian antara Sakkar Toba dengan babi hutan itupun terjadi, dan berakhir tidak terlalu lama. Sakkar Toba  mengakhiri perlawanan babi hutan itu dengan mudah, karena memang kekuatan antara keduanya sudah tidak berimbang. Sakkar Toba yang memiliki ilmu sakti, semakin dikuatkan setelah ia mengenakan kalung milik babi hutan itu.

Sakkar Toba memotong leher babi hutan itu hingga putus, setelah memastikan binatang itu sudah tak bernyawa. Kemudian ia membawa kepala binatang itu kehadapan Boru Pasaribu, dan seluruh warga desa. Tetapi warga desa tidak percaya begitu saja kepada Sakkar Toba, dan mereka beranggapan tak mungkin ia bisa melakukan itu dengan begitu cepat dan mudah.

Lalu untuk membuktikan bahwa Sakkar Toba sungguh telah membunuh binatang liar itu, kemudian warga desa sepakat untuk mendatangi tempat dimana Sakkar Toba melumpuhkan babi hutan itu. Setibanya di tempat dimana peristiwa itu terjadi, penduduk desa melihat binatang itu terkulai tak berkepala.

Dengan amarah yang tak terkendali, penduduk desa membedah binatang itu dengan membabi buta. Mereka mencabik-cabiknya hingga menjadi potongan-potongan kecil. Dan pada saat membedah dan memotong bagian perut, salah seorang warga desa menemukan sebuah cincin dari usus binatang buas itu.

Dan kemudian cincin itu diperlihatkan kepada Boru Pasaribu, untuk memastikan apakah cincin itu salah satu milik dari almarhum suaminya. Melihat cincin itu, Boru Pasaribu menjadi sedih dan kembali menangis. Boru Pasaribu kembali meratap dan menyatakan memang benar bahwa cincin itu adalah milik almarhum suaminya.

Selesai sudah keraguan warga desa kepada Sakkar Toba. Penemuan cincin dari usus binatang itu, sudah cukup untuk dijadikan bukti, bahwa binatang itulah yang menyeruduk suami Boru Pasaribu hingga tewas dan memakan seluruh tubuhnya hingga tak bersisa. Kemudian seluruh warga desa dan Sakkar Toba bersama-sama meninggalkan bangkai binatang itu berserakan, tanpa menguburkannya terlebih dahulu.

Sesampai di rumah, Boru Pasaribu kemudian mengucapkan terimakasih kepada Sakkar Toba, karena telah berhasil membalaskan amarahnya terhadap babi siluman yang telah merenggut nyawa suaminya. Lalu Boru Pasaribu mempersilahkan Sakkar Toba untuk mengambil apa saja yang ada di dalam rumahnya, sebagai balas jasa untuk menepati janji yang telah ia ucapkan sebelumnya.

Boru Pasaribu kaget bukan kepalang, sebab Sakkar Toba meminta diri Boru Pasaribu sebagai imbalan, untuk dijadikan istri. Boru Pasaribu tak pernah menduga, jika Sakkar Toba malah meminta dirinya sendiri untuk diambil sebagai imbalan. Mendengar pernyataan Sakkar Toba, seluruh warga desa mendadak diam, situasi menjadi hening dan mencekam.

Semua warga yang hadir di rumah Boru Pasaribu juga tidak menduga jika Sakkar Toba akan meminta Boru Pasaribu untuk diambil sebagai balas jasa. Warga desa sangat keberatan dengan permintaan itu, sebab permintaan itu dianggap diluar dari pernyataan sayembara Boru Pasaribu.

Warga desa yang tergolong masih satu rumpun (marga) dengan suami Boru Pasaribu, tentu punya alasan untuk menaruh keberatan, jika istri kerabatnya yang tengah mengandung harus dipersunting oleh pria dari marga (klan) lain, apalagi orang yang ada dihadapan mereka adalah orang asing, yang sama sekali tidak dikenal sebelumnya.

Tetapi janji tetaplah janji dan pernyataan telah diucapkan, dimana barang siapa yang mampu membunuh babi hutan yang telah membunuh suaminya itu, dan membawa kepala binatang tersebut kehadapannya, maka apapun yang ada di dalam rumah Boru Pasaribu boleh diambil untuk dimiliki oleh siapapun yang berhasil membunuh babi siluman itu.

Boru Pasaribu tidak membuat satupun pengecualian saat mengucapkan sayembara saat itu. Ia tak menyadari, bahwa ia sendiri termasuk salah satu isi dan menjadi bagian dari rumahnya sendiri. Tentu iapun adalah salah satu dari sekian isi rumahnya yang turut disayembarakan. Dan Sakkar Toba memiliki dasar yang kuat, untuk melawan sikap keberatan yang ditunjukkan oleh warga desa.

Warga Desa dan Pemangku Adat tidak bisa lagi berkelit, dan akhirnya menyerahkan kasus itu sepenuhnya kepada Boru Pasaribu untuk mengambil keputusan. Sesungguhnya, Boru Pasaribu tidak merasa keberatan dengan balas jasa yang dipinta Sakkar Toba. Tetapi kehamilannya memang, mengikat dirinya dengan warga desa yang memiliki hubungan kekerabatan dengan almarhum suaminya.

Kemudian Boru Pasaribu memutuskan dan menyanggupi permintaan Sakkar Toba untuk dijadikan istri tetapi dengan syarat, Sakkar Toba tidak boleh menggauli dirinya sebagaimana lazimnya pasangan suami istri, sepanjang ia mengandung benih almarhum suaminya, yakni benih pria yang berasal dari komunitas (marga) Hutabarat.

Dihadapan Pemangku Adat dan seluruh warga desa, Sakkar Toba sama sekali tidak keberatan dan menerima syarat yang diajukan Boru Pasaribu dan ia bersumpah akan menjaga janjinya. Sakkar Toba tau betul, cukup berat bagi Boru Pasaribu untuk menyanggupi permintaannya, dan Sakkar Toba sadar hanya dengan syarat itulah, Boru Pasaribu bisa merealisasikan perjanjian sayembaranya.

Akhinya warga desa menerima keputusan Boru Pasaribu, walau sesungguhnya mereka menaruh keberatan. Kemudian segala sesuatu yang berkaitan dengan rencana pernikahan Boru Pasaribu dan Sakkar Toba diatur sedemikian rupa, sesuai dengan aturan adat-istiadat di desa itu. Setelah terpenuhi, kemudian Sakkar Toba dan Boru Pasaribu diresmikan menjadi Pasangan Suami Istri yang sah, menurut hukum adat dan budaya yang berlaku.

Tidak berapa lama setelah pernikahan itu, Boru Pasaribu kemudian melahirkan anak yang ia kandung atas perkawinannya dengan anak keturunan (marga) Hutabarat, yang kemudian dikenal dengan nama SAKKAR PANGURURAN. Berselang beberapa tahun kemudian, dari perkawinannya dengan Sakkar Toba, ia melahirkan beberapa orang anak, diantaranya dua laki-laki, yang dikemudian diketahui  bernama MARTIANG OMAS dan TUAN SAMPULU.

Melihat anak-anaknya berkembang dan tumbuh semakin dewasa, Sakkar Toba menjadi ingat akan pamannya Datu Mangambe di kampung halaman. Kerinduannya semakin menguat dan hal itu menjadi alasan baginya untuk mengajak anak dan Boru Pasaribu istrinya, pulang ke kampung halaman guna diperkenalkan kepada sanak saudaranya.

Terkejut bercampur bahagia Datu Mangambe melihat Sakkar Toba ada di hadapannya. Sakkar Toba datang bukan hanya bersama istri, tetapi ia datang juga bersama anak-anaknya. Kebahagiaan Datu Mangambe tentu sangat beralasan, mengingat ikrar dengan kakandanya Datu Bira telah terlaksana dengan baik. Datu Mangambe meneteskan air mata, pertanda ia sungguh bersuka cita.

Beberapa hari kemudian setelah Sakkar Toba kembali, Datu Mangambe menyampaikan hasratnya untuk kembali ke Tipang, dengan maksud menikahi Si Boru Nainggolan yang ia tinggal disana, dan akan segera kembali ke Silaban Rura setelah upacara pernikahan secara resmi usai. Rupanya Datu Mangambe pamannya telah memutuskan untuk menetap dan hidup berumah tangga di Silaban Rura.

Demikian kisah Sakkar Toba Silaban, yang kami himpun dari berbagai sumber, baik dari anak keturunan (marga) Silaban sendiri, dan juga dari berbagai sumber yang berasal dari anak keturunan (marga) lain. Jika kemudian alur ceritanya tidak sesuai dengan harapan banyak orang, khususnya keturunan Borsak Jungjungan yang sangat besar kemungkinan berbedanya, kami mohon maaf.

HORAS … SALAM GEMILANG
...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar